Mohon tunggu...
Rizki Alawiya
Rizki Alawiya Mohon Tunggu... Lainnya - Awardee LPDP, Magister pendidikan Universitas Mataram

Menulis saja. Mungkin sederhana dalam pikirmu, tapi bermakna buat orang lain

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Aku Ingin Anakku Bisa Bahasa Inggris

5 Juni 2021   06:30 Diperbarui: 5 Juni 2021   06:46 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah hal pertama yang anak dengar ketika dia lahir. Adzan dan hiruk pikuk ucapan bahagia serta haru dari ayah ibu dan keluarganya terekam oleh otak anak.

Suatu hari anak pun mampu mengeluarkan bahasa dari mulut kecilnya, apalagi kalau bukan memproduksi input berupa kosa kata yang sekian lama tersimpan di memorinya.

Tak sedikit orang tua yang berharap kelak anaknya bisa ngomong bahasa Inggris, menguasai bahasa Arab, bahasa Mandarin dan lainnya, tapi lupa atau tidak tau bagaimana mewujudkannya dengan lebih mudah.

Dalam teori belajar behaviourism dalam kaitannya dengan belajar bahasa, anak yang belajar bahasa harus rutin di stimulus dengan bahasa yang kita ingin dia kuasai. Suatu hari dia akan bisa merespon, di situlah interaksi terjadi. Kemampuan anak dalam berbahasa tersebut menjadi hasil dari belajarnya yang dalam teori tersebut dikatakan sebagai perubahan sikap (dari tidak tau menjadi tau, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mempraktekkan menjadi mempraktekkan). 

Maka ketika orang tua membangun komunikasi dengan bahasa Indonesia contoh saja, maka itulah stimulusnya, sehingga dengan input sekian lama, maka akan tiba masanya anak akan merespon dengan bahasa Indonesia juga, di situlah terjadi interaksi dan orang tua bisa melihat hasilnya.

Kita bisa katakan bahwa, pembiasaan mendengarkan anak terhadap bahasa A akan menghasilkan anak yang berinteraksi dengan bahasa A. Maka jangan memaksa anak bisa berkomunikasi dengan bahasa B sedangkan stimulusnya sangat minim, input yang tersimpan mungkin belum sampai merangkai kalimat, belum tau konteks penggunaan, sehingga tidak keluar bahasa B tersebut dari mulutnya.

Kesimpulannya, jika orang tua ingin anaknya bisa bahasa selain bahasa yang biasa orang-orang sekitarnya gunakan, maka orang tua harus menerapkannya dalam komunikasi dengan anak. Lalu bagaimana jika pamannya/tantenya/nenek kakeknya/orang sekelilingnya menggunakan bahasa yang berbeda?

Justru baik juga. Lah kok gitu?

Ada celetukan seorang ibu yang memiliki seorang putri berusia 4 tahun, begini;

"Anakku komunikasi dengan bahasa Indonesia. Neneknya, keluarga, dan teman2 pakai bahasa Sasak (bahasa daerah Lombok). Dia mengerti, tapi responnya tetap menggunakan bahasa Indonesia."

Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa tahun-tahun awal seorang anak hingga dia mencapai usia 5 tahun adalah masa dia memperoleh bahasa dengan sangat maksimal. Di penelitian lain dikatakan hingga usianya 7 tahun (Budianingsih,2015). Ini dikarenakan bagian otak anak yang bertugas menyimpan dan mengolah bahasa masih lentur.

Bisa dibayangkan, jika seorang ibu dan anak balitanya setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Didukung juga oleh ayahnya, atau lingkungan di dalam rumahnya, maka terbentuk anak yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Jika dibarengi dengan bahasa daerahnya, maka anak akan bisa berkomunikasi dengan bahasa itu pula. Maka dia akan tumbuh menjadi anak bilingual, atau anak yang memiliki kemampuan berkomunikasi dalam dua bahasa.

Lalu bagaimana jika anak saya tidak merespon dalam bahasa yang sama dengan lawan bicaranya tapi dia mengerti bahasa lawan bicaranya?

Sebab yang paling bisa menjadi jawaban adalah dikarenakan bahasa lawan bicaranya dikenalkan dikemudian hari atau belum cukupnya input bahasa tersebut dalam otak anak sehingga dia bisa mengerti, tapi belum bisa melafalkannya. Tapi jika dua bahasa ini konsisten didengar terutama diusia maksimalnya, contoh saja dilingkungan kita pada umumnya, bahasa Indonesia di rumah, bahasa daerah di lingkungan mainnya diluar rumah, maka anak kita akan fasih menggunakan dua bahasa tersebut.

Ada dua istilah dalam belajar dan pemerolehan bahasa pada anak, yakni kompetensi(competence) dan performasi (performance). Kompetensi yakni dimana anak memperoleh bahasa yang ditargetkan orang tuanya, semisal bahasa Indonesia (sebagai bahasa kedua). Orang tua harus terus mengajak anak berkomunikasi dengan bahasa tersebut (konsisten) untuk bisa mencapai tahap performasi, yakni dimana anak telah mampu menggunakannya dalam berkomunikasi.

Ada juga kasus dimana anak menggunakan dua bahasa sekaligus dalam satu kalimat. Misalnya, "Mama, minta kepeng." (Artinya: Mama, minta uang)

Jika kita lihat susunan 2 bahasa ini, 2 di antara alasan hal itu bisa terjadi yaitu: 1) kedua bahasa memiliki pola/struktur yang sama, (2) kata kepeng lebih sering didengar/di stimulus daripada kata uang, sehingga reflek keluarlah kalimat itu.

Lalu bagaimana jika trilingual, yakni ditambah dengan bahasa ketiga/bahasa asing?

Jawabannya sangat bisa, lagi-lagi diusia maksimalnya, yakni 0-7 tahun.

Yang harus diperhatikan adalah usaha menstimulus pada tahap kompetensi yang ekstra terhadap bahasa itu, disebabkan bahasa tersebut tidak digunakan oleh lingkungannya. Orang tua diuji dengan konsistensi untuk tetap menggunakan bahasa yang ditargetkan hingga anak mampu berkomunikasi dengan baik (tahap performasi).

Nah, apa nanti anak tidak bingung/lambat bicara kalau 3 bahasa digunakan/diajarkan dalam satu waktu?

Jawabannya akan dibahas pada tulisan berikutnya ya.

Salam,
Emaknya Solah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun