Aku tipe orang yang akan memikirkan matang-matang ketika hendak memutuskan pilihan dalam hidup. Bahkan aku butuh waktu berhari-hari sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Namun, dia merupakan pengecualian. Sedetik setelah aku melihat senyumnya ketika pertama kali kami bertemu, aku sudah mantap dan yakin kalau aku menyukainya.
Aku menyukai matanya yang seakan ikut tersenyum, melengkung seperti bulan sabit ketika kami saling memperkenalkan diri. Agak sulit mendengar suaranya yang lembut itu menyerukan namanya. Tidak, bukan salahnya. Aku yang harusnya menajamkan telinga. Kulirik id card yang menggantung di lehernya untuk memastikan. Ah, itu namanya.
Keinginan untuk dekat dengannya tentu ada. Sejak awal, aku berusaha untuk dapat posisi meja yang terdekat darinya. Sayangnya, sudah penuh terisi. Tidak apa-apa, mungkin aku bisa pindah ke meja lain beberapa bulan kemudian. Setidaknya, dari mejaku sekarang, aku masih bisa melihatnya. Posisi mejaku pun berada di pinggir jalan utama, sehingga ia pasti melewatiku ketika datang atau pulang dari ruangan ini.
Kupikir, aku bisa memulai untuk mengobrol dengannya sebelum dapat posisi meja terdekat. Nyatanya, tidak semudah itu. Rasanya seakan ada tembok yang menghalangi kami. Aku bingung harus melempar topik apa yang dapat memancingnya bicara denganku. Sepertinya kami tidak punya banyak kesamaan. Pernah kucoba mencuri dengar percakapannya dengan seorang teman, siapa tahu aku mendapatkan informasi tentang kesukaannya. Tapi tetap saja, aku tidak paham genre film dan penyanyi yang ia obrolkan.
Suatu hari, kulihat ia mengobrol dengan beberapa teman. Dengan dalih mengganggu salah satu teman yang ikut dalam percakapan, aku menghampiri mereka. Tanpa berharap apapun, aku mencoba melempar lelucon yang bahkan menurutku tidak lucu. Tak disangka, ia tertawa mendengar celetukanku. Ya, hanya dia. Dalam hati aku sedikit bangga, meskipun agak bingung apa yang lucu dari ucapanku. Tapi, aku senang melihatnya tertawa.
Namun, aku harus menahan bahagiaku. Tersiar kabar kalau ia sudah punya tambatan hati dan berencana untuk menikah. Tak usah ditanya seberapa sedihnya aku. Rasanya baru saja hendak mengetuk pintu, pintu itu terkunci rapat dari dalam, dan aku tidak bisa masuk. Baiklah, tidak apa-apa, mungkin memang bukan dia yang menjadi takdirku.
Hari demi hari, berganti menjadi minggu, bahkan berbulan-bulan berlalu. Tidak ada kelanjutan dari kabar itu. Tidak ada undangan yang tersebar. Aku jadi bingung, haruskah aku mencoba untuk maju lagi? Kebetulan ada meja kosong di dekat mejanya. Aku coba pindah saja ke situ, siapa tahu masih ada jalan yang terbuka.
Sudah berminggu-minggu sejak aku pindah meja, dan kini sudah ada sedikit kemajuan. Sejak tempat kami bekerja melakukan reorganisasi, para pegawai mendapatkan jenis pekerjaan baru dan daftar pekerjaan yang kami dapatkan serupa, sehingga kami jadi lebih sering berkomunikasi. Masih belum mengobrol hal selain pekerjaan, tapi ini sebuah kemajuan, kan?
Sampai akhirnya, hari itu datang. Kemarin rasanya yang aku lakukan biasa-biasa saja, kebaikan yang aku lakukan rasanya tidak ada yang spesial. Tapi, hari itu bagaikan hadiah. Di kemudian hari aku menyadari bahwa hari itu merupakan salah satu hari terindah dalam hidupku.
Salah satu teman mengajakku mengobrol ketika jam istirahat, lalu mengajakku untuk datang ke sebuah festival yang akan diadakan di akhir pekan. Terlihat menarik, namun aku tidak mengiyakan dan menolak. Akan aku lihat dulu kondisi di esok hari.
Sore harinya, ketika sudah di luar jam kerja, aku tengah membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Aku menoleh ketika ada yang menepuk bahuku. Rupanya dia yang melakukannya. Sepertinya mau menanyakan pekerjaan yang kemarin sempat tertunda.