Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis dalam Cermin

29 November 2020   10:17 Diperbarui: 29 November 2020   10:28 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semburat cahaya mentari yang masuk melewati ventilasi kamar membangunkanku. Aku mendudukkan diri sambal meregangkan tubuh, lalu perlahan turun dari kasur. Setelah meminum segelas air, aku berjalan kembali menuju kasur. Hari ini libur, tidak ada yang hendak ku lakukan. Aku akan tidur barang sebentar lagi.

Belum sampai kasur, aku berhenti, tertegun menatap cermin. Gadis dalam cermin, yang biasanya nampak ceria dan selalu bahagia, kini terlihat murung menatapku. Aku mendekati cermin, dan bertanya alasan ia murung.

Dia, gadis dalam cermin, berkata, "Hentikan. Jangan buat aku bahagia lagi."

Aku tertegun. Heran, mengapa dia tidak mau bahagia lagi? Bukankah kehidupannya sudah sangat bagus? Justru aku ingin punya kehidupan sepertinya. Aku iri padanya.

Gadis dalam cermin itu berkata, "Aku ingin kamu punya kebahagiaan yang nyata. Aku tidak ingin aku bahagia, tetapi kamu tidak.". Ia mengusap air matanya yang menetes. "Kamu dan aku sama. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Tapi, mengapa hanya aku yang bahagia? Mengapa kamu membuat aku bahagia, sementara dirimu tidak?"

Aku terdiam. Memang benar, awalnya kami sama. Dia adalah refleksi diriku. Kami menjalani kehidupan yang sama, kehidupan yang menurutku tidak bahagia. Hingga suatu hari, aku mulai membayangkan berbagai hal yang mungkin bisa membuatku bahagia jika aku memilikinya.

Pertama, aku ingin punya tubuh yang tinggi. Aku, sambil menatap cermin, membayangkan gadis dalam cermin itu punya tubuh yang tinggi semampai. Sesuai bayanganku, gadis dalam cermin kini punya tinggi yang aku inginkan. Tubuhnya terlihat bagus, tidak seperti milikku.

Lalu, aku membayangkan diriku menjadi orang yang supel dan punya banyak teman. Aku menatap cermin dan melihat gadis dalam cermin tengah bercengkerama dengan teman-temannya. Terlihat sangat menyenangkan. Teman-temannya sangat menyayangi gadis dalam cermin. Tidak sepertiku. Tidak ada teman yang menyayangiku seperti teman-temannya gadis dalam cermin.

Mempunyai kemampuan bicara dengan berbagai bahasa, rasanya pasti seru. Orang-orang akan menyukaiku. Aku membayangkan gadis dalam cermin tengah berbicara dengan bahasa asing kepada temannya, dan temannya memujinya, berkata gadis itu sangat cerdas. Jauh berbeda denganku yang mempelajari satu bahasa saja sangat kesulitan.

Setiap aku sedih, aku menatap gadis dalam cermin dan kehidupannya. Ia terlihat sangat bahagia. Tidak ada kesedihan yang terpancar sedikit pun. Kehidupan yang selalu ku inginkan kini dimiliki oleh gadis dalam cermin. Aku bahagia melihat dia bahagia, meskipun nyatanya kebahagiaan yang ia miliki hanya hidup di dalam anganku.

"Berhentilah membayangkan kebahagiaan yang ingin kamu miliki. Banyak hal yang dapat membuat kamu bahagia, hanya saja kamu belum tahu cara menemukan kebahagiaan itu.", ucap gadis dalam cermin, menyadarkanku dari lamunan. Aku menatapnya nanar.

"Tinggimu sudah sesuai. Kamu tahu tidak, banyak orang yang ingin punya tinggi sepertimu. Mereka bilang, orang dengan tinggi sepertimu sangat imut.", lanjut gadis dalam cermin. "Kamu pikir, teman-temanmu tidak ada yang menyayangimu dan menjauh darimu. Nyatanya, tidak. Teman-temanmu masih ada di sisimu, menyayangimu dengan sepenuh hati. Hanya saja, kamu tidak menyadari itu, kamu terlalu fokus pada kesedihanmu. Dan, kamu ingat, kalau kemarin kamu menonton video dari Negeri Ginseng tanpa terjemahan, dan kamu mengerti sebagian yang mereka bicarakan di video itu? Artinya, kamu sebenarnya bisa berbicara bahasa mereka! Belum terlalu lancar, tapi kamu akan fasih jika berlatih setiap hari."

Gadis dalam cermin itu benar. Ternyata, kebahagiaan yang selama ini aku berikan padanya, sudah aku miliki juga. Aku malah membiarkan kekuranganku menjadi belenggu yang menutupi pandanganku pada kebahagiaan itu.

Kini, gadis dalam cermin itu tersenyum. Aku mengerjap-ngerjap, terkejut melihat penampilannya kini sama persis sepertiku. Tidak lagi bertubuh tinggi seperti sebelumnya, sekarang ia adalah diriku tanpa tambahan apapun. "Kita harus sama-sama bahagia. Karena aku adalah kamu, dan kamu adalah aku."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun