Mohon tunggu...
Rizka Widianti
Rizka Widianti Mohon Tunggu... Lainnya - Psychology Student

Psychology Student

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Sehat

Terapi Gerakan Mata Dapat Menyembuhkan Trauma Jangka Panjang?

22 Desember 2022   15:02 Diperbarui: 22 Desember 2022   15:08 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh Rizka Widianti - Universitas Muhammadiyah Malang

Hal yang terlintas dalam pikiran seseorang ketika mendengar kata trauma ialah kejadian mengerikan atau tragis. Kejadian atau peristiwa tersebut dapat berupa ancaman terhadap kematian dan cedera yang serius seperti pada pengalaman di medang perang, bencana alam, kecelakaan, dan aksi kriminal. Sebagaimana kejadian tragedi sepakbola Kanjuruhan Malang yang mengakibatkan kerusuhan, serta peristiwa kerumunan di Itaewon Korea Selatan saat memperingati Halloween yang telah memakan banyak korban, dapat memicu seseorang untuk mengalami trauma. Selain itu, seseorang yang mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual juga dapat berpotensi untuk mengalami trauma.

Lalu apakah sebenarnya yang disebut trauma itu? American Psychological Association (2008) memaparkan bahwa trauma ialah respon emosional pada kejadian atau peristiwa mengerikan atau tragis baik yang pernah dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang. Umumnya, seseorang yang trauma akan mengalami shock dan penyangkalan (denial) setelah terjadinya peristiwa tersebut dan hal ini merupakan reaksi yang wajar. Jika hal ini telah menetap dan berlangsung lama hingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, maka ada kecenderungan seseorang mengalami gangguan jiwa yang disebut dengan posttraumatic stress disorder (PTSD).

PTSD

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR) oleh American Psychiatric Association dijelaskan bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan jiwa dimana individu mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menegangkan dan mengerikan sepeti ancaman terhadap kematian, cidera serius, dan kekerasan seksual yang menyebabkan distress emosional sampai titik dimana hal tersebut mempengaruhi kesehariannya. Individu biasanya mengalami mimpi buruk dan kilas balik (flashback), sehingga ia menghindari situasi, tempat, dan orang-orang yang bersangkutan dengan peristiwa traumatis tersebut. Ketika seseorang mengalami hal tersebut, maka muncul reaksi-reaksi seperti menjadi sensitif (lekas marah), masalah konsentrasi, dan gangguan tidur. Selain itu individu yang mengalami PTSD terjadi perubahan negatif dalam kognitifnya dan suasana hati. Seseorang memiliki keyakinan dan harapan negatif yang terus-menerus tentang diri sendiri, kesalahan yang terus-menerus menyimpang dari diri sendiri atau orang lain, dan reaksi disosiatif. Pada reaksi disosiatif ini, individu merasa pengalaman traumatis tersebut terulang sehingga pada kondisi yang ekstrem dapat terjadi hilangnya kesadaran akan kejadian yang berlangsung saat ini.

Individu yang mengalami PTSD memiliki gejala sehubungan dengan peristiwa traumatis baik yang dipicu oleh mimpi buruk ataupun flashbacks, yang mana akan mengalami reaksi disosiatif dan pada beberapa orang mengalami kondisi yang ekstrem. Hal ini dikarenakan adanya kesalahan dalam sistem pemrosesan informasi yang ada pada tubuh kita. Kesalahan pemrosesan informasi ini diakibatkan karena terdapat ketidakseimbangan sistem saraf yang terjadi pada orang yang mengalami trauma. Ketidakseimbangan tersebut mempengaruhi perubahan neurotransmitter atau hormon seperti adrenalin dan hormon lainnya. Sehingga sistem pemrosesan informasi tidak mampu berfungsi secara optimal dan menyebabkan individu salah dalam menafsirkan informasi seperti gambar, suara, atau sensasi fisik yang berhubungan dengan peristiwa traumatis. Dimana penafsiran yang kurang tepat oleh individu ini bersifat menetap dalam keadaan yang mengganggu (disturbing state).

Jika Seseorang Mengalami PTSD, Bagaimanakah Cara Menanganinya?

Sebagian besar gangguan berasal dari pengalaman hidup sebelumnya, dimana yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku, kognisi, dan kepribadian seseorang. Inilah yang dijelaskan oleh Shapiro (2001) bahwa hal tersebut tersimpan dalam sistem saraf dan menjadi bentuk yang menetap. Sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Leer dkk. (2014) menemukan bahwa gerakan mata mengurangi kejernihan ingatan dan/atau emosi sesaat setelah dilakukannya terapi. Terapi ini dinamakan EMDR atau Eye Movement Desensitization and Reprocessing yang ditemukan oleh Francince Shapiro, dipaparkan bahwa gerakan mata dapat mengurangi pikiran yang mengganggu. Hal ini dikarenakan adanya gabungan antara sensitivitas saraf dengan pola kognitif, yaitu bagaimana kita memaknai suatu kejadian.

Terapi EMDR merupakan terapi yang memfasilitasi pengaksesan dan pemrosesan ingatan traumatis dan pengalaman hidup buruk lainnya untuk dibawa ke perubahan yang adaptif (Maric, 2015). Terapi ini tentunya dilakukan oleh profesional seperti psikolog atau certified therapist. Adapun cara untuk melakukan terapi ini ialah dengan memulai gerakan mata, hand taps, nada pendengaran atau perhatian ganda lainnya yang diikuti dengan klien memikirkan peristiwa traumatis tersebut. Sehingga dengan adanya kegiatan tersebut, klien memunculkan pikiran baru terkait hal yang memicu kejadian traumatis tersebut.

Terapi EMDR ini sama efektifnya dengan CBT. Meskipun begitu, pada beberapa penelitian ditemukan bahwa terapi EMDR lebih efisien dan hemat biaya serta dapat digunakan pada pasien gangguan psikosis yang mempunyai komorbid PTSD dengan aman dan efektif (de Jongh dkk., 2019). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Wadji dkk. (2022) menemukan bahwa mengingat kejadian traumatis saat disandingkan dengan aktivitas lainnya akan mengalihkan perhatian individu dari proses individu mengambil informasi dan menyebabkan berkurangnya kejelasan dan emosionalitas terkait pengalaman tersebut, sehingga dapat mengurangi gejala PTSD.

Maka dari itu penting untuk mengkaji terapi-terapi yang dapat menurunkan gejala gangguan traumatis pada seseorang sebagai bagian dari ontologi dalam ilmu pengetahuan, khususnya pada terapi EMDR. Kemudian, untuk mengembangkan penelitian ini bisa dilihat secara epistemologi dimana kita dapat mengkajinya melalui studi literatur serta melakukan penelitian eksperimen lebih lanjut mengenai terapi EMDR. Sehingga terapi ini dalam kajian aksiologi, bermanfaat untuk individu atau masyarakat yang mengalami PTSD.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Sehat Selengkapnya
Lihat Indonesia Sehat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun