Mohon tunggu...
Rizka Vidia
Rizka Vidia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta.

an amateur who always wants to learn

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perkembangan Jet Tempur KFX/IFX: Antara Komitmen Awal SBY dan Tantangan Kebijakan Jokowi

3 Desember 2023   10:15 Diperbarui: 3 Desember 2023   18:47 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Luar Negeri “bebas aktif” telah menjadi landasan fundamental Indonesia sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Mencerminkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang mandiri, tidak ingin bergantung pada negara lain, tidak ingin condong ke blok manapun. Maka dari itu, kerjasama pengembangan jet tempur KFX/IFX ini dinilai sebagai langkah awal yang tepat untuk meningkatan kapabilitas pertahanan nasional Indonesia. 

Proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX sudah diinisiasi pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awalnya diupayakan agar kedirgantaraan Indonesia meningkat setelah PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) tidak memiliki program kerja utama seperti pembuatan pesawat tempur sejak 1998, serta untuk membangun Politik Luar Negeri Indonesia meningkatkan pengaruh Indonesia di mata Internasional.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap gagal bersikap proaktif dalam proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae atau KFX/IFX bersama Korea Selatan dengan menunggak tagihan biaya produksi, pengembangan, dan rekayasa teknik jet tempur  KFX/IFX. Padahal proyek pengembangan ini merupakan salah satu kerjasama jangka panjang antara Indonesia dengan Korea Selatan. 

Hal tersebut memunculkan banyak kritik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Keseriusan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memulai kerjasama pengembangan jet tempur dinilai berlawanan dengan komitmen melanjutkan warisan utang yang diembankan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Proyek pengembangan ini telah digarap sejak 2009, hal ini menunjukan keseriusan Indonesia dalam mengembangkan jet tempur KFX/IFX dengan bukti Letter of Intent (LoI) yang sudah disepakati. Kemudian, setahun setelahnya MoU proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX ini ditandatangani. 

Pada tahun 2012, sebenarnya Indonesia dan Korea Selatan menandatangani kontrak secara resmi. Akan tetapi, karena kondisi politik Korea Selatan yang tidak stabil pada 2013, Korea Selatan akhirnya memutuskan untuk mengembalikan share cost yang telah disetorkan Indonesia. Uang tersebut dialokasikan sebagian kepada Kementerian Keuangan dan sebagian lainnya kepada PT. Dirgantara Indonesia (PTDI).

Setelah beberapa tahun berlalu, pada tahun 2016 proyek ini kembali dijalankan dengan penandatanganan perjanjian. Pada perjanjian tersebut Republik Indonesia menanggung 20%, Korea Aerospace Industries Co. (KAI) sebesar 20%, dan Korea Selatan sebesar 60%, serta kesepakatan pembagian tugas antara PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Korea Aerospace Industries (KAI). Indonesia mempunyai kewajiban untuk membayar share cost dua kali dalam satu tahun, yakni pada bulan April dan Oktober. 

Proyek pengembangan ini awalnya ditargetkan selesai pada tahun 2021, tetapi mundur hingga 2026. Dengan rencana kualitas jet tempur KFX/IFX yang dapat merusak sistem elektronik yang dimiliki oleh musuh, proyek pengembangan ini menetapkan akan memproduksi 168 unit jet tempur KFX/IFX, dengan 48 unit jet tempur akan menjadi hak milik Indonesia.

Setelah penandatanganan tahun 2016, pembiayaan share cost yang dibebani kepada APBN pada 2017 disetorkan kepada Korea Selatan tepat waktu setiap bulan April dan Oktober. Tetapi pada tahun 2018, Indonesia mulai kesulitan memenuhi tagihan share cost proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX kepada Korea Selatan.

Pada Oktober 2018, pemerintahan Indonesia melakukan renegosiasi untuk tetap melanjutkan proyek pengembangan tetapi dengan harapan adanya keringanan pembiayaan.  Indonesia malah semakin menunjukan sikap bimbangnya pada 2019, dengan menunggak tagihan proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX. Sampai dengan Juli 2019, pemerintah Indonesia hanya membayar KRW 227,2 miliar tagihan pengembangan dari total kewajiban KRW 1,7 triliun, padahal batas pembayaran keseluruhan proyek Jet tempur KFX/IFX ini pada Agustus 2020. 

Karena sikap indonesia tersebut, Duta Besar Korea Selatan Untuk Indonesia Kim Chang-beom melakukan kunjungan kehormatan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Sekjen Kemhan RI) Laksdya TNI Agus Setiadji, S.A.P., M.A.,. Pertemuan tersebut mengisyaratkan perlunya ketegasan Indonesia dalam kerjasama keamanan, yang dimana proyek jet tempur KFX/IFX adalah salah satunya.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap gagal karena bersikap tidak tegas dan terkesan memainkan Korea selatan dalam proyek jet tempur KFX/IFX ini. Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto sering kali memberikan tanda kepastian akan proyek ini terus dilanjutkan, seperti pada Desember 2019, Menhan Prabowo Subianto berkunjung ke Korea Selatan bertemu dengan Menteri Pertahanan Korea Selatan, Suh Wook dengan maksud menjelaskan bahwa kerjasama militer Indonesia dengan Korea Selatan akan terus dilanjutkan dan proyek jet tempur KFX/IFX ini akan terus dikembangkan.

Sementara pada Juli 2020, justru Wakil Menteri Pertahanan, Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa proyek pengembangan ini tidak berdampak signifikan untuk perkembangan Kedirgantaraan Indonesia. Pernyataan tersebut dilontarkan menjelang Agustus 2020 sebagai batas waktu pembayaran proyek pengembangan jet tempur. Pernyataan dari Trenggono ini mengundang banyaknya kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap labil mengambil sikap proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX.

Banyak yang berpendapat bahwa proyek dengan nilai investasi Rp 24 Triliun terlalu tinggi untuk nilai urgensi yang rendah dengan kepemilikan APBN yang terbatas. Walaupun hal tersebut tetap dilakukan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada waktu itu, menginginkan Indonesia untuk mandiri, tidak bergantung kepada negara lain dalam urusan investasi alutsista. Hal ini dengan harapan segala pengembangan jet tempur kedepannya dapat dikembangkan di Indonesia oleh insinyur-insiyur Indonesia sendiri.

Dapat dilihat bahwa kebijakannya melakukan kerjasama pengembangan jet tempur KFX/FIX selaras dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki karakteristik kepemimpinan yang lebih outward looking. Hal tersebut membuat masa kepemimpinannya sangat mengutamakan pengaruh Indonesia di dunia dengan tetap menerapkan soft power diplomacy. 

Maka Proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX ini selaras dengan tujuan Indonesia yang memiliki Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Negara yang ingin bebas menentukan pillihan negaranya harus memiliki kekuatan untuk memilih, maka dari itu, meningkatkan kapabilitas pertahanan menjadi solusi yang menarik.

Sedangkan Presiden Joko Widodo, memiliki karakteristik kepemimpinan inward looking yang lebih mengutamakan penguatan sektor dalam negeri. Sehingga pengembangan jet tempur KFX/IFX dinilai belum terlalu dibutuhkan untuk Indonesia saat ini. Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, proyek ini dinilai tidak begitu berpengaruh karena transfer teknologi yang dilakukan Korea Selatan tidak banyak. APBN sendiri sedang difokuskan untuk pembangunan proyek IKN dan permasalahan domestik lainnya. 

Permasalahan domestik Indonesia tentu sangat penting diatasi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi labil dalam proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX juga bukanlah solusi. Meskipun renegosiasi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dan Korea Selatan masih terus dilakukan sampai saat ini.

Pemerintahan presiden Joko Widodo masih menerapkan Politik Luar Negeri bebas aktif, tapi dipergunakan untuk masalah domestik. Pemerintahan presiden Joko Widodo dinilai kurang pro aktif dan labil dalam melanjutkan proyek pengembangan KFX/IFX. Terlihat dari penunggakan pembayaran tagihan ke Korea Selatan, Jumlah APBN yang diutamakan untuk share cost yang sangat minim sedangkan tenggat waktu pembayaran sudah dekat, pernyataan Wamenhan yang mempertanyakan urgensi proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX. 

Hal-hal tersebut dapat sangat bertentangan dengan komitmen awal kerjasama Jangka Panjang Indonesia dan Korea Selatan. Bila terus penuh keraguan terhadap proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX ini, menimbulkan kerugian besar untuk Indonesia. Serta akan menganggu hubungan diplomatik dengan Korea Selatan dan eksistensi politik luar negeri Indonesia yang dikenal bebas aktif.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo memang keduanya menerapkan prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif dalam proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX. Namun, ada perbedaan yang signifikan pada pendekatan politik masing-masing presiden Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat lebih tegas dengan penerapan high politics dan pengaruh Indonesia di mata Internasional, maka dari itu, Proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX ini menjadi salah satu program unggulannya untuk mengapai Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Sedangkan Presiden Joko Widodo dalam penerapan Politik Luar Negeri Bebas Aktif lebih kepada untuk memenuhi tujuan domestiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun