Perang dunia II adalah sebuah perang global yang melibatkan beberapa negara yang berlangsung tahun 1939 sampai 1945. Negara yang terlibat pada perang dunia II ini terbagi menjadi dua aliansi yakni blok poros yang terdiri dari negara Jerman, Italia, dan Jepang dan blok sekutu yang terdiri atas Amerika, Inggris, Rusia, Perancis dan Tiongkok.
Perang dunia yang terjadi di dunia ini meninggalkan dampak yang besar diseluruh dunia. Tentunya hal tersebut juga meninggalkan duka yang mendalam bagi masyarakat sipil. Banyak para tentara dan masyarakat sipil yang menjadi korban dalam perang dunia ini baik korban nyawa maupun material. Banyak tentara yang menjadi cacat dan juga banyak perempuan yang harus menjadi janda karena ditinggalkan oleh para suami dan anak-anak mereka yang gugur di medan perang. Para perempuan tersebut adalah orang-orang yang dengan berani harus menanggung berita, dan terus berjalan meskipun suami, anak, dan saudara mereka terbunuh.
Kita tidak banyak tahu kehidupan perempuan di dalam perang yang sedang berlangsung ditambah dengan tewasnya orang-orang dicintai, membuat hidup mereka semakin berat. Namun kehidupan pun harus terur berlanjut. Mereka harus memenuhi kehidupan dan berjuang menjalani kehidupan dengan sendirian ditengah perang yang sedang berlangsung. Berdasarkan buku yang ditulis Emilly Yellin yang berjudul  "Our Mothers' War: American Women at Home and at the Front During World War II" menggambarkan kehidupan perempuan ketika masa perang. Banyak para perempuan yang bekerja di perkebunan maupun melakukan pekerjaan sukarela di kantin USO (United Service Organizations), perawat, pengasuh anak, dan lain-lain. Tentunya hal tersebut merupakan pekerjaan-pekerjaan yang masih permulaan bagi perempuan.
Ketika peran perempuan mulai diperhitungkan, mereka pun mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan esensial yang biasa dilakukan laki-laki yang bahkan terkadang harus menempatkan mereka di tengah-tengah medan peperangan seperti dokter, pilot, pengemudi tank, penembak mesin, dan penembak jitu. Di Amerika sendiri lebih dari 350.000 perempuan yang bertugs di angkatan bersenjata pada perang dunia. Ternyata peran para perempuan tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam kemenangan perang. Meskipun pemerintah sendiri membatasi keterlibatan perempuan dalam perang.
Beberapa contoh tokoh perempuan yang cukup berperan pada perang dunia adalah Jane Kendeigh. Dia adalah seorang perawat Sebagai perawat penerbangan, Kendeigh dilatih sebagai perawat dan dilatih dalam prosedur kecelakaan, kelangsungan hidup, dan cara menyesuaikan perawatan pada pasien di ketinggian. Kendeigh dan rekan-rekan perawat penerbangannya akan mengevakuasi sekitar 2.393 Marinir dan pelaut dari Iwo Jima (sebuah pulau di jepang), merawat pasien mereka dalam proses pemindahan mereka ke rumah sakit yang beroperasi. Selanjutnya adalah Nancy Harkness Love yang merupakan pilot wanita pertama di Angkatan Udara Angkatan Darat (AAF) dan pendiri dan komandan WAFS dalam Perang Dunia II. Tugasnya dan kelompok pilot wanita mengangkut pesawat dan pasokan dari pabrik ke pangkalan udara, sehingga lebih banyak pilot pria tersedia untuk bergerak ke depan. Love melatih wanita yang mendaftar ke skuadron, yang kemudian digabungkan dengan Women Air Force Service Pilots (WASPS) pada tahun 1943.
Keterlibatan perempuan di medan perang dan dalam pekerjaan-pekerjaan esensial yang dilakukan laki-laki ternyata kemudian meningkatkan angkatan kerja untuk perempuan. Banyak orang yang memuji propaganda perang untuk menarik para perempuan ke dalam angkatan kerja selama perang. Angkatan kerja ini membuat perempuan ini menjadi lebih dihargai dan mendapat pekerjaan yang berbayar. Utamanya hal ini merupakan permulaan peningkatkan sektor profesional dan pendidikan perempuan di awal abad 20. Upah yang diperoleh oleh dari para pekerja yang memiliki skill maupun tidak menjadi semakin bervariasi dan meningkat.
Angka pemerintah menunjukkan bahwa pekerjaan perempuan meningkat selama Perang Dunia Kedua dari sekitar 5,1 juta pada tahun 1939 (26%) menjadi lebih dari 7,25 juta pada tahun 1943 (36% dari semua wanita usia kerja). Empat puluh enam persen dari semua wanita berusia antara 14 dan 59 tahun, dan 90% dari semua wanita lajang yang berbadan sehat antara usia 18 dan 40 tahun terlibat dalam beberapa bentuk pekerjaan atau Layanan Nasional pada September 1943 (HM Government, 1943, hal. 3). Tingkat pekerjaan bisa saja lebih tinggi karena pembantu rumah tangga dikeluarkan dari angka-angka ini. Banyak pembantu rumah tangga akan dipindahkan ke dinas nasional.
Tentunya hal ini tidak  banyak dibahas di sejarah-sejarah mainstream yang ditulis pemerintah dimana hanya suara dan peran laki-laki yang dicatat dalam sejarah. Seorang jurnalis bernama Svetlana Alexievich yang menelusuri oral history dari para perempuan yang ada di perang dunia dua mengatakan jika ". . . sejarah perang telah digantikan oleh sejarah kemenangan." Dimana dalam konteks ini tidak banyak yang tidak menyorot keterlibatan perempauan dalam perang dunia dua dimana sejarah yang tercatat hanya menampilkan perspektif laki-laki.
Dengan demikian historiografi atau tulisan sejarah seharusnya juga lebih banyak menampilkan persepektif dari perempuan itu sendiri khususnya pada tema-tema militer. Sehingga sejarah yang ditapilkan pada publik tidak selalu patriarkis yang menonjolkan peran laki-laki saja.
Source :
Goldin, Claudia. "The role of World War II in the rise of women's work." (1989).
Yellin, Emily. Our Mothers' War: American Women at Home and at the Front During World War II. Simon and Schuster, 2004.
Alexievich, Svetlana. The unwomanly face of war: an oral history of women in world war II. Random House, 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H