Mohon tunggu...
Rizka Ramadhani
Rizka Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik, Hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Indonesia Join BRICS di 2025?

10 September 2024   22:55 Diperbarui: 10 September 2024   22:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Isolated Traveller

Meletusnya perang Rusia-Ukraina Februari 2022 lalu telah membentuk persepsi kolektif baru terhadap hegemoni dolar Amerika Serikat. Wajah hipokrit negeri Paman Sam tersebut semakin terlihat jelas, tidak hanya sebatas membantu Ukraina saja, tetapi AS  juga memberikan tekanan dan sanksi ke Rusia. Ada banyak sanksi sepihak yang dijatuhkan untuk Rusia, yang jika diberikan pada negara berkembang lain sanksi tersebut sebenarnya bisa merubuhkan tatanan politik-ekonominya. Namun Rusia tetaplah Rusia, mereka memutuskan untuk menginvasi Ukraina bukan tanpa persiapan.

Sanksi ekonomi seperti pemblokiran bank-bank Rusia dari SWIFT (Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang diharapkan dapat memukul ekonomi Rusia ternyata tidak terlalu berdampak signifikan. Rusia justru semakin terlihat menjadi contoh 'anak nakal' yang mandiri dan menantang hegemoni US Dolar. Secara langsung banyak negara mulai sadar bahwa jika sewaktu-waktu mereka menjadi 'anak nakal' yang menentang kepentingan Amerika, negaranya bisa saja diperlakukan sama seperti Rusia. Seiring dengan kesadaran kolektif tersebut, muncul istilah dedolarisasi yang menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni Amerika.

Dedolarisasi dalam arti yang sederhana adalah semangat dari banyak negara untuk melepaskan ketergantungannya terhadap dolar Amerika. Saluran utama yang menjadi motor penggerak dedolarisasi adalah BRICS. BRICS merupakan forum ekonomi dan organisasi multilateral yang sebelum 2024 beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (asal usul BRICS adalah singkatan nama 5 negara tersebut). Pada KTT BRICS yang diselenggarakan Agustus 2023 di Afrika Selatan lalu, banyak negara diisukan tertarik untuk gabung ke BRICS, termasuk Indonesia. Namun sayangnya RI tidak masuk daftar 6 negara anggota baru BRICS (Argentina, Mesir, Arab Saudi, Iran, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab).

BRICS akan kembali mengadakan KTT di Kazan, Rusia bulan Oktober 2024. Dikabarkan semakin banyak negara yang berminat untuk bergabung ke BRICS, termasuk negara tetangga kita yaitu Malaysia. Lantas bagaimanakah dengan Indonesia? Kapan Indonesia akan bergabung ke barisan dedolarisasi yang menentang Amerika Serikat?. Apakah Indonesia hanya akan kembali menjadi tamu undangan untuk KTT BRICS kali ini?.

Indonesia akan melakukan pergantian kepemimpinan pada 20 Oktober 2024 mendatang. Selain disibukkan dengan urusan Pilkada di bulan berikutnya (November), pemerintahan baru dinilai akan mewarisi banyak pekerjaan rumah dari pemerintahan sebelumnya. Urusan domestik yang perlu segera diselesaikan membuat Indonesia tidak boleh terburu-buru untuk terjung langsung ke percaturan global. Ditambah lagi KTT BRICS 2024 di Rusia akan diselenggarakan 2 hari setelah pelantikan Presiden RI yang baru, yaitu 22-24 Oktober 2024.

Waktu paling ideal untuk Indonesia bergabung ke dalam aliansi BRICS adalah tahun 2025. Pemerintahan Prabowo dapat menggunakan waktu satu tahun ke depan untuk mempersiapkan industri-industri dalam negeri. Komuditas ekspor harus memiliki nilai tambah yang dapat mengangkat daya saing produk Indonesia di perdagangan global. Waktu satu tahun ke depan juga dapat dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan daya tawarnya di antara dua kutub kekuatan global yang sedang bersitegang, sebab RI masih tergolong 'negara non blok'. Konflik global yang sedang menuju puncaknya juga membuat Indonesia tidak boleh berlama-lama menjadi negara netral tanpa mengambil keuntungan.

Keinginan Indonesia untuk gabung ke BRICS bukan sekedar asumsi tidak berdasar. Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden yang baru dipandang akan memiliki keberanian untuk resmi bergabung dengan BRICS. Prabowo sangat dikenal sebagai sosok pemimpin yang anti neoliberalisme yang kecenderungan tersebut mengarah ke Amerika Serikat. Presiden pasti akan mempertimbangkan korelasi bergabungnya Indonesia ke BRICS dengan fenomena dedolarisasi yang ingin membuat keseimbangan dunia yang baru. Amerika Serikat dan sekutunya sudah terlalu lama mempertahankan hegemoni yang hipokrit. Indonesia perlu mengambil peran sebagai pemain global untuk membuat keseimbangan baru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun