Pengaruh pernikahan dini terhadap kualitas pernikahan dan kesehatan mental prempuan
The influence of early marriage on the quality of marriage and the mental health of women
Rizka oktaviani
Vera Sardila S.pd, M.pd
Universitas islam negeri sultan syarif kasim Riau
Program studi pendidikan bahasa inggrisÂ
Email: ro048284@gmail.comÂ
Abstrak
Pernikahan dini merupakan suatu Pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang relatif muda. Umur yang muda yang dimaksud adalah usia pubertas yang usia antara 10-19 tahun. Pernikahan dini juga merupakan perkawinan yang target persimpangan belum dikatakan maksimal baik dari segi fisik, mental, dan materi sehingga berdampak pada kualitas pernikahan dan juga kondisi psikologis terutama pada perempuan. Artikel ini akan memberikan wawasan baru tentang sudut pandang perempuan untuk membentuk keluarga dan keturunan. Kualitas pernikahan pada aspek kepuasan dan kebahagiaan berada dalam pernikahan dini berada pada tingkatan terendah. Bentuk emosional yang muncul dari dampak pernikahan dini adalah kecemasan, dan stres. Kami menjelaskan bahwa pernikahan dini dapat mengurangi kualitas pernikahan karena keterbatasan pengalaman dan kematangan emosional pasangan. Faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi menjadi penentu utama pernikahan dini. Oleh karena itu, perlunya strategi pendidikan, kesadaran masyarakat, dan intervensi kebijakan untuk mengurangi prevalensi pernikahan dini. Dengan menyadari dampak negatifnya, masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait diharapkan bersama-sama berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan hubungan perkawinan yang sehat dan berkelanjutan.
Kata kunci: pernikahan dini; kualitas pernikahan; kesehatan mental
AbstractÂ
Early marriage is a marriage conducted by someone relatively young. The young age referred to is the period of puberty, ranging from 10 to 19 years old. Early marriage represents a union where the intersection targets in terms of physical, mental, and material aspects are not considered optimal, resulting in impacts on the quality of marriage and the psychological condition, especially for women. This article provides new insights into the female perspective on forming families and offspring. The quality of marriage, in terms of satisfaction and happiness, is at its lowest in early marriages. Emotional consequences arising from the impacts of early marriage include anxiety and stress. We explain that early marriage can diminish marriage quality due to the limited experience and emotional maturity of the partners. Cultural, social, and economic factors are the primary determinants of early marriage. Therefore, there is a need for educational strategies, public awareness, and policy interventions to reduce the prevalence of early marriage. Recognizing its negative impacts, it is expected that society, government, and relevant institutions collectively contribute to creating an environment that supports the formation of healthy and sustainable marital relationships.
Keywords: early marriage; marriage quality; mental health
Pendahuluan
Pernikahan, sebagai institusi sosial yang kompleks, seringkali menjadi landasan bagi pembentukan keluarga dan keberlanjutan masyarakat. Namun, ketika pernikahan terjadi pada usia yang sangat muda, atau yang sering disebut sebagai pernikahan dini, aspek-aspek kritis dari kehidupan perkawinan dan kesehatan mental dapat terpengaruh secara signifikan. Pernikahan dini menjadi fenomena yang membutuhkan perhatian khusus, mengingat potensi dampaknya tidak hanya pada kualitas hubungan antara pasangan, tetapi juga pada kesejahteraan mental individu terutama perempuan.
Dalam artikel ini, kami akan mengeksplorasi secara konseptual pengaruh pernikahan dini terhadap kualitas pernikahan dan kesehatan mental perempuan. Pernikahan pada usia muda membuka jendela untuk pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi memainkan peran penting dalam membentuk dinamika pernikahan dan kesejahteraan mental individu. Dengan memahami aspek-aspek ini, diharapkan dapat dikembangkan strategi pendidikan, kesadaran masyarakat, dan kebijakan intervensi yang dapat mengarah pada perubahan positif dalam paradigma pernikahan dini dan kontribusinya terhadap kualitas hidup perempuan.
Pembahasan
Menurut UU No 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ketentuan yang diubah pada pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun. Namun, pada kenyataannya pernikahan dini di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Kemudian, sebanyak 27,07% pemuda di dalam negeri memiliki usia menikah pertama pada 22-24 tahun. Ada juga 19,24% pemuda yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun. berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak.
Beberapa faktor pernikahan dini sangat bervariasi diantaranya adalah faktor ekonomi, budaya dan adat istiadat
, kecelakaan (marriage by accident), dan lainnya.
1.) Faktor ekonomiÂ
Ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab pernikahan dini yang paling banyak di Indonesia. Pernikahan dini seringkali dianggap sebagai pelabuhan dari permasalahan ekonomi yang dihadapi. Para perempuan berharap dengan Merdeka melangsungkan pernikahan dini Maka perekonomian mereka bisa lebih baik dengan mengantungkan hidup Mereka kepada suami. Dari pihak orangtua, pernikahan juga membuat mereka merasa mereka telah melepaskan tanggung jawab kepada anak mereka sehingga tidak perlu membiayai anaknya.
2.) Faktor pendidikanÂ
 Pendidikan menjadi faktor penting bagi seseorang dalam memandang dirinya dan dunianya, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang semakin mendorong terjadinya pernikahan dini.
Terdapat penelitian yang menerangkan bahwa faktor pendidikan merupakan salah satu penyebab dari maraknya praktik pernikahan dini di desa tertentu yang ada di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan anak terhadap seksualitas, mereka tidak mengetahui konsekuensi apa yang akan dihadapi saat melakukan seks pra-nikah. Untuk mengatasi problematika seperti ini, pendidikan memang dapat dikatakan menjadi garda terdepan untuk menanggulanginya.
3.) faktor budaya dan adat istiadatÂ
Dalam tradisi, pernikahan tidak lagi memandang usia seseorang. Meskipun pernikahan di bawah umur melanggar undang-undang negara, tetapi pernikahan tersebut sah-sah saja dalam adat istiadat mereka. Di Indonesia sendiri, ada tradisi tertentu yang memperbolehkan remaja menikah sebelum memasuki usia pubertas. Perempuan boleh menikah di usia yang sangat belia, begitu pun laki-laki.
Biasanya pernikahan tersebut terjadi karena beberapa hal, seperti dilatarbelakangi oleh keyakinan, adanya anggapan kaum perempuan yang lebih banyak daripada kaum laki-laki, serta adanya perasaan utang budi. Variatif memang. Berbicara tentang adat istiadat memang menjadi suatu hal yang sangat menarik, karena setiap adat memiliki aturannya sendiri dan amat multiinterpretatif.
4.) Faktor kecelakaan (marriage by accident)
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan dini yang terjadi di Indonesia sebagai solusi untuk kehamilan di luar nikah, pada usia remaja rentan terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan hubungan seksual sebelum menikah. ini juga tak lepas dari bebas pergaulan antar lawan jenis yang marak kita saksikan di media massa dan lingkungan sekitar. Menikahkan kedua remaja yang melakukan hubungan seksual di luar nikah, seringkali dianggap oleh masyarakat kita sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Dampak pernikahan dini
Setiap kejadian pasti memiliki dampaknya, baik dampak positif maupun negatif. Begitu juga yang terjadi dengan pernikahan dini. Komisioner komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan, Budi Wahyuni menjabarkan, dari kasus-kasus yang ia tangani umumnya orang tua menganggap anak bisa melanjutkan pendidikan setelah menikah dengan mengejar paket A, B, dan C. Kenyataannya, anak yang menikah sudah terlalu lelah karena dipaksa mengurus keluarga.
Dampak lainnya adalah anak-anak perempuan yang melangsungkan pernikahan di bawah 18 tahun seringkali mengalami gangguan pada kandungannya. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Surya Chandra Surapaty menjelaskan dari sisi kesehatan. Dia mengatakan, leher rahim remaja prempuan masih sensitif sehingga jika dipaksakan hamil, beresiko menimbulkan kanker rahim dikemudian hari. Selain itu, resiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia muda.
Ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurang bersosialisasi dan juga mengalami krisis kepercayaan diri serta rentan mengalami baby blues. Dalam suatu penelitian didapatkan sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu yang berusia dibawah 17 tahun adalah prematur, anak juga lebih beresiko mengalami perlakuan salah ataupun penelantaran.
Dua orang yang menikah dini cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja, hal inilah yang menyebabkan pernikahan dini rentan mengalami kemiskinan. Sering ditemukan Kekerasan dalam rumah tangga pada pasangan yang menikah dini, dikarenakan kondisi emosinya masih labil dan menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bila dianalisis dampak negatif pernikahan dini lebih banyak daripada dampak positifnya, untuk itu perlu adanya komitmen dari pemerintah dan masyarakat untuk menekan angka pernikahan dini di Indonesia.Â
Kualitas pernikahanÂ
Kualitas pernikahan dapat dilihat dari kebahagiaan dan kepuasan pernikahan yang mencakup ekonomi, komunikasi, kepribadian pasangan, komitmen, penyesuaian dan cinta. Komunikasi merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah hubungan pernikahan karena dengan komunikasi yang lancar dan terbuat kepada pasangan akan membuat hubungan lebih awet dan harmonis. Puspitawati dan Setioningsih, (2010) menemukan bahwa semakin lemah suatu komunikasi dalam hubungan maka semakin menurun pula kualitas pernikahan yang dirasakan.
Komunikasi yang lancar juga dapat menjaga komitmen antar pasangan, karena dalam suatu hubungan menjaga komitmen bukanlah hal yang mudah. Seorang anak perempuan yang menikah diusia dini, umumnya masih ingin menikmati masa mudanya dan meluaskan pergaulan. Akan tetapi harus dikurangi karena sudah berstatus menikah dan harus menjaga komitmen bersama pasangan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rizkillah, (2014) dan Nuraini, (2004) menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan yang tertinggi pada komitmen pernikahan Istri menunjukkan selalu menjaga komitmen pernikahan dan hal ini tercapai dengan adanya keterbukaan antara pasangan sehingga menjaga komitmen pernikahan.Â
Kebutuhan ekonomi merupakan salah satu penopang kebutuhan dalam pernikahan. Pada aspek ekonomi dalam kualitas pernikahan menyatakan Istri sering berdebat dengan pasangan mengenai keuangan. Rumah tangga pernikahan dini masih belum ada kemandirian dan masih bergantung kepada orang tua masing-masing keluarga dan dari segi kecukupan sebagai kebutuhan bahkan tidak cukup. Sebuah penelitian yang dilakukan Higginbotham dan Felix, (2009) menyatakan permasalahan ekonomi membuat berkurangnya kehangatan dalam pernikahan serta resiko konflik dan tekanan dalam pernikahan. Kebutuhan ekonomi dapat menjadi konflik dalam rumah tangga dan dapat menurunkan kualitas suatu Pernikahan.
Â
Dampak pernikahan dini pada kesehatan mental perempuanÂ
Masalah atau konflik yang dihadapi yang dihadapi dalam sebuah hubungan pernikahan dan cara menanganinya sangat tidak mudah bagi perempuan yang menikah di usia muda. Karena dari sifat, cara berpikir yang kurang dewasa dan emosi yang masih labil kadang dapat berdampak pada mental.
a. Dampak psikologisÂ
 Dampak psikologis yang dirasakan oleh perempuan/istri:
1. KecemasanÂ
Kecemasan adalah perasaan yang timbul ketika kita khawatir atau takut akan sesuatu. Rasa takut dan panik adalah hal yang manusiawi. Setelah beberapa waktu, kita biasanya merasa lebih tenang dan nyaman. Sebuah penelitian menunjukkan perempuan merasa menyesal menikah di usia dini, tertekan dengan kondisi pernikahannya dan perasaan takut dan was was ketika suami pergi keluar.
2. Stres
Pernikahan dini merupakan pernikahan dibawah umur yang mana belum ada kesiapan dalam berpikir, emosional, dan labil sehingga sering kali masalah yang timbul diselesaikan dengan cara yang salah. Ketidaksiapan ini yang pada akhirnya memicu stres, pemicu stres lainnya adalah keadaan sosial ekonomi dan tekanan yang dirasakan. Suatu penelitian mengemukakan bahwa perempuan merasa tertekan dengan suami emosian yang tidak pernah berubah, suami yang terlalu cemburu, dan terkadang akibat perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Keputusan untuk bercerai selalu terpikir oleh istri namun mengingat anaknya yang masih kecil dan akhirnya istrinya hanya bisa bersabar. Hal ini menunjukkan kematangan mental merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan rumah tangga.
KesimpulanÂ
Pernikahan dini, sebagaimana dikaji dalam artikel ini, mengemuka sebagai faktor yang dapat memengaruhi kualitas pernikahan dan kesehatan mental perempuan dengan cara yang kompleks. Dari telaah konseptual, terungkap bahwa keterbatasan pengalaman dan kematangan emosional pada usia muda dapat memperburuk dinamika hubungan perkawinan. Konflik yang timbul seringkali menjadi hasil dari kurangnya pemahaman akan tanggung jawab perkawinan.
Selain itu, perempuan yang menikah pada usia dini rentan terhadap risiko masalah kesehatan mental. Tekanan peran sebagai pasangan dan ibu pada usia yang belum matang, bersama dengan kurangnya dukungan sosial, dapat menyebabkan masalah kejiwaan yang serius. Faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi juga turut berperan sebagai pendorong pernikahan dini.
Sebagai langkah menuju solusi, penting untuk merancang strategi pendidikan seksual komprehensif, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan mendorong kebijakan intervensi yang mendukung pencegahan pernikahan dini. Upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan hubungan perkawinan yang sehat dan memberikan perlindungan terhadap kesehatan mental perempuan. Dengan begitu, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih sadar dan inklusif, di mana pernikahan menjadi panggung untuk pertumbuhan dan kebahagiaan, bukan beban yang membebani kualitas hidup perempuan.
Daftar pustaka
Wahyuningsih, H., Nuryoto, S., Afiatin, T., & Helmi, A. (2013). The Indonesian Moslem Marital Quality Scale: Development, Validation, and
Reliability. In The Asian Conference on Psychology & the Behavioral
Sciences 2013.
http://papers.iafor.org/wpcontent/uploads/papers/acp2013/AC P2013_0410.pdfÂ
Tyas, F. P. S., & Herawati, T. (2017).
Kualitas Pernikahan dan
Kesejahteraan Keluarga Menentukan Kualitas Lingkungan Pengasuhan Anak Pada Pasangan yang Menikah Usia Muda. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 10(1), 1-12.
https://jurnal.ipb.ac.id/index.php/jikk
/article/view/17175Â
Syalis, E. R., & Nurwati, N. N. (2020). Analisis Dampak Pernikahan Dini
Terhadap Psikologis Remaja. Focus:
Jurnal Pekerjaan Sosial, 3(1), 29-- 38.
http://jurnal.unpad.ac.id/focus/article
/view/28192
Setiawati, E. R. (2017). Pengaruh Pernikahan Dini Terhadap
Keharmonisan Pasangan Suami dan Istri di Desa Bagan Bhakti Kecamatan Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir. Jom Fisip, 4(1), 1--15. https://jom.unri.ac.id/index.php/JOM FSIP/article/view/13868Â
Sari Desi Aulia; Darmawansyah, Darmawansyah, L. Y. U. (2020). Dampak Pernikahan Dini Pada Kesehatan Reproduksi Dan Mental Perempuan (Studi Kasus Di Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu). Jurnal
Bidang Ilmu Kesehatan, 10(1), 5465. http://ejournal.urindo.ac.id/index.php
/kesehatan/article/view/735
Profil Anak Indonesia. (2018). Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Jakarta : Badan Pusat
Statistik.
https://www.kemenpppa.go.id/lib/upl oads/list/74d38-buku-pai-2018.pdf
Pierewan, E. W. dan A. C. (2017). Determinan Pernikahan Usia Dini Di
Indonesia. SOCIA: Jurnal Ilmu-Ilmu
 Sosial, 14(4), 55-70.
https://journal.uny.ac.id/index.php/so sia/article/viewFile/15890/9742
Badan Pusat Statistik, (2017). Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015, Jakarta : Badan Pusat Statistik. http://www.koalisiperempuan.or.id/w pcontent/uploads/2017/12/LampiranI-rilis-perkawinan-anak-18-des-17-
2.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI