Mohon tunggu...
Rizka Amelia
Rizka Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar berproses dan berprogres

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sanksi Keberatan dan Banding Pajak Dipangkas, Ini Alasannya!

19 Januari 2024   01:00 Diperbarui: 19 Januari 2024   01:01 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak memiliki kontribusi besar dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak bertanggung jawab untuk menghitung, mengestimasi, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya atas pajak yang terutang sesuai dengan undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini, fiskus memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan yang berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan mengeluarkan Surat Ketetapan (SKP).

Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak apabila terjadi sengketa pajak atas ketetapan fiskus, yaitu melalui keberatan, banding, dan peninjauan kembali (PK). Tantangan yang perlu dihadapi hingga saat ini adalah terdapat belasan ribu berkas yang diajukan setiap tahunnya atas ketidaksetujuan Wajib Pajak terkait jumlah pajak terutang yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tingginya sengketa pajak sebagian besar disebabkan oleh disharmonisasi ketentuan perpajakan serta adanya loop hole dalam implementasi pelaksanaan regulasi.

Dengan banyaknya kasus sengketa pajak yang terjadi, keberadaan dan penetapan sanksi menjadi fokus utama yang perlu diperhatikan untuk mengendalikan hal tersebut. Sebelum adanya perubahan ketentuan, sanksi yang dikenakan adalah sebesar 50% di tingkat keberatan dan 100% di tingkat banding. Permasalahannya terletak pada tarif sanksi tersebut yang dianggap terlalu tinggi sehingga dinilai tidak memberikan keadilan bagi Wajib Pajak dan pemerintah dianggap menitikberatkan sanksi yang hanya berorientasi untuk penambahan pendapatan negara, bukan untuk memberikan efek jera.

Melihat permasalahan ini, pemerintah melakukan perbaikan dari sisi prosedur pemeriksaan dan pengawasan dengan menggunakan compliance risk management (CRM) yang diatur dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui beleid tersebut, tarif sanksi ditetapkan menjadi lebih ringan apabila keberatan serta permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian.

Menurut Pasal 25 ayat (9) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, Pemerintah menurunkan sanksi atas putusan keberatan yang ditolak atau dikabulkan sebagian menjadi 30% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sementara itu, besaran sanksi atas putusan banding yang ditolak atau dikabulkan sebagian diturunkan menjadi 60% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (Pasal 27 ayat (5d) UU KUP).

Penurunan sanksi ini menjadi upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan keadilan, kepastian hukum, dan efisiensi sistem perpajakan. Dari sisi keadilan, reformasi perpajakan melalui UU HPP terkait penurunan sanksi tersebut dinilai lebih proporsional dan selaras dengan ruh pengaturan sanksi dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sehingga hal ini mendorong Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum, baik keberatan maupun banding, jika mereka merasa dirugikan oleh keputusan administrasi pajak tanpa adanya kekhawatiran akibat pengenaan sanksi yang tinggi. 

Dari sisi kepastian hukum, besaran penurunan sanksi sudah jelas tertuang dalam UU KUP Pasal 25 ayat (9) untuk putusan keberatan dan Pasal 27 ayat (5d) untuk putusan banding maka hal ini telah memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak sehingga proses penyelesaian dapat berjalan lebih adil dan transparan. Dari sisi efisiensi, Wajib pajak akan memperoleh benefit berupa pengurangan beban finansial akibat tarif sanksi sebelumnya yang dirasa cukup tinggi. Adanya penurunan sanksi akan menguatkan fokus pemerintah untuk lebih menitikberatkan sanksi sebagai efek jera, bukan berorientasi pada penerimaan pajak.

Selain Wajib Pajak, penurunan sanksi ini juga ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar dapat meningkatkan kualitas layanannya, terutama dalam hal pemeriksaan. DJP perlu memberikan keputusan yang lebih adil dan tepat sasaran agar Wajib Pajak tidak perlu mengajukan upaya hukum sehingga risiko timbulnya sengketa pajak dapat menurun serta memitigasi kenaikan keberatan dan banding. Secara umum, sistem pajak yang adil dan berkepastian hukum serta sanksi yang merujuk pada asas proporsionalitas akan mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun