Mohon tunggu...
Rizka Mazidatul Aufa
Rizka Mazidatul Aufa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa almet kuning cab. Semarang, gtu dl aja si, maturnuwun sedoyo...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Anak sebagai Jembatan Pendidikan Inklusi

2 Desember 2024   12:10 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:45 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastra anak didefinisikan sebagai karya sastra yang ditulis secara lisan atau tulisan oleh anak-anak, remaja, atau orang dewasa yang mencerminkan jalan hidup dan kepribadian anak dengan bahasa dan isi yang sesuai dengan usia mereka. Sastra yang ditujukan untuk anak-anak berfungsi untuk memajukan kepribadian anak-anak dengan mempromosikan nilai-nilai pendidikan yang baik yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Sastra dapat berfungsi sebagai alat pendidikan untuk anak-anak, mengajarkan mereka perbedaan antara benar dan salah serta apa yang bisa dan tidak bisa diterima dalam kehidupan sehari-hari. Dipercaya bahwa sastra anak dapat digunakan oleh guru dan orang tua sebagai alat yang sangat berguna untuk menanamkan norma, nilai, perilaku mulia, dan keyakinan dalam masyarakat atau budaya tertentu. Didasarkan pada fungsi utama pembelajaran sastra sebagai penjernihan akal budi, yang dapat meningkatkan kemanusiaan dan kesadaran sosial, menumbuhkan apresiasi budaya, dan mempermudah penyaluran ide, imajinasi, dan ekspresi kreatif, paparan sastra pada anak-anak memiliki efek positif terhadap perkembangan rasa, kreativitas, dan inisiatif mereka.

Salah satu nilai yang dapat ditanamkan melalui sastra anak adalah nilai karakter. Pembinaan karakter dapat terjadi di lembaga pendidikan dasar melalui pembelajaran sastra anak. Di sekolah, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, perilaku, dan kemampuan siswa untuk menghasilkan siswa yang cerdas dan jujur. Sangat ideal bagi anak-anak di sekolah dasar untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang dapat diterapkan hingga dewasa. Nilai-nilai ini akan terus ditanamkan jika sastra anak terus digunakan dalam pengajaran. Sastra juga merupakan alat penting untuk mengajar karakter, terutama dengan mengajarkan prinsip keberagaman dan inklusi sosial. Cerita mengajarkan anak-anak untuk memahami, menghargai, dan menerima perbedaan sebagai bagian dari hidup. Pendidikan karakter juga dapat membantu melindungi masyarakat dari perubahan yang disebabkan oleh teknologi. Karakter memungkinkan orang untuk mengidentifikasi dan memahami elemen perilaku, sikap, teknik, dan kualitas berikut yang membedakan seseorang dari yang lain atau karakteristik unik. Dalam masyarakat yang semakin plural, sastra anak berfungsi sebagai alat untuk menanamkan rasa terima kasih dan empati sejak dini.

Artikel ini membahas peran sastra anak dalam mendorong inklusi sosial, dengan menyoroti karya-karya inspiratif yang mengajarkan keberagaman. Selain itu, artikel ini juga akan mengulas tantangan dalam menciptakan sastra anak yang inklusif dan menawarkan solusi untuk mengatasinya. Dengan memahami pentingnya inklusi sosial dalam sastra anak, kita dapat mendidik generasi muda yang lebih toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

Tidak semua karya sastra anak adil menggambarkan inklusi. Banyak cerita stereotip atau mengabaikan kelompok minoritas, seperti anak-anak dengan disabilitas atau kelompok budaya tertentu. Hal ini membuat perbedaan, terutama bagi anak-anak yang tidak merasa terwakili dalam cerita yang mereka baca. Sastra yang inklusif dapat membantu setiap anak merasa dihargai dan diterima. Selain itu, itu dapat membantu mereka memahami keberagaman.

Bagaimana anak-anak melihat dunia dan diri mereka dapat sangat dipengaruhi oleh karakter yang muncul dalam karya sastra untuk anak-anak. Karakter seperti Malala Yousafzai dalam Malala's Magic Pencil dan Auggie Pullman dalam Wonder menjadi contoh keberanian, perjuangan, dan pentingnya keberagaman. Anak-anak mereka dididik untuk menghargai perbedaan dan mendukung hak mereka. Selain itu, buku lokal seperti Kisah Anak Nusantara membantu anak memahami dan merayakan berbagai budaya Indonesia.

Bahan bacaan sastra sangat penting untuk membangun karakter dan mengembangkan kepribadian anak. Namun, bahan bacaan sastra untuk anak-anak harus disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual mereka. Mengembangkan sastra anak pun masih menghadapi banyak masalah. Salah satunya adalah bahwa keberagaman tidak diwakili dengan baik dalam cerita anak. Banyak buku masih menggunakan karakter yang sama, biasanya dengan karakter utama yang berkulit putih dan sehat. Selain itu, stereotip gender dan ketidakmampuan untuk mendapatkan akses ke buku inklusif di daerah terpencil adalah kendala lain. Oleh karena itu, cerita yang mencerminkan keberagaman dan mengajarkan nilai-nilai inklusi kepada anak-anak sejak dini sangat penting.

Untuk membuat buku yang lebih representatif dan inklusif, penulis, penerbit, dan ilustrator dapat bekerja sama untuk meningkatkan inklusi dalam sastra anak. Meningkatkan kesadaran orang tua dan pendidik tentang pentingnya literasi keberagaman juga penting, serta memastikan bahwa orang di daerah terpencil memiliki akses ke buku-buku inklusif melalui program perpustakaan keliling atau literasi digital. Buku-buku yang mendorong keberagaman juga dapat didukung oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka juga dapat didistribusikan untuk menjangkau pembaca yang lebih luas.

Secara strategis, sastra anak membentuk pemikiran dan sikap anak tentang keberagaman dan inklusi sosial. Anak-anak tidak hanya menikmati cerita dengan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, tetapi mereka juga diajarkan untuk menghargai dan menghargai perbedaan. Sastra anak dengan representasi yang inklusif membantu membangun dunia yang lebih setara di mana setiap anak dapat merasa dihargai dan diterima terlepas dari latar belakang mereka.

Meskipun demikian, masih ada masalah besar dalam mengembangkan sastra anak yang inklusif. Hambatan yang harus diatasi adalah kurangnya representasi keberagaman, stereotip dalam karakter, dan terbatasnya akses ke buku yang inklusif. Oleh karena itu, kerja sama antara berbagai pihak penulis, penerbit, pendidik, dan pemerintah sangat penting untuk menciptakan literasi anak yang lebih inklusif dan menyebarkannya secara merata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun