Gemerincing koin dalam kaleng sukses menciptakan harmoni abstrak di tengah bisingnya kendaraan. Suara cempreng mereka mengudara di bawah langit kota Jakarta. Di bawah langit biru penuh asap knalpot, beberapa anak jalanan dengan penuh semangat dan senyum merekah terus menggoyangkan kaleng berisi recehan koin sambil bernyanyi riang di samping mobil-mobil yang tengah berhenti di lampu merah lalu lintas tengah kota.
      Aku melihat mereka semua.
      Melihat dunia bergerak begitu sibuk bersama dengan manusia-manusia yang berada dalam dunianya masing-masing. Mereka bergerak dan hidup tanpa peduli sekitar, seakan jalan raya hingga jok mobil adalah panggung sandiwara di mana mereka adalah tokoh utama tanpa peduli dengan keberadaan tokoh lainnya. Benar, tepat di trotoar jalan raya ini aku melihat semuanya.
      Saat tangan pengamen-pengamen cilik dengan peluh membasahi wajah kusam itu sedikit mengetuk salah satu kaca mobil mewah di sana, sebuah wajah garang menyembul lewat celah kaca. Melemparkan sebuah koin yang langsung ditangkap dengan gembira tak terkira oleh pengamen berbaju lusuh itu. Pengamen-pengamen cilik yang selama hidupnya belum pernah mendudukkan bokongnya di jok mobil mewah sambil mengenakan baju tanpa lubang jelek di sana sini itu tidak pernah merasa sakit hati sedikitpun kala koin itu justru megenai kening mereka. Yang mereka tau hanyalah, dengan koin itu mereka akan bertahan hidup setidaknya untuk hari ini.
      Aku kembali memperhatikan bagaimana panggung kecil yang terbentuk di perempatan lampu lalu lintas jalan raya ini menghadirkan berbagai sandiwara yang begitu jelas di kedua mataku. Sandiwara? Yah, bagaimana bisa aku tidak menyebutnya sebuah panggung sandiwara? Bagiku, orang-orang dalam mobil mengkilat itu tengah memainkan sandiwara mereka sebagai manusia tuli akan lagu-lagu penuh harap yang dilantunkan demi sepeser rupiah dan justru memilih untuk menyumpal telinga dengan lagu-lagu mendunia dalam mobil mewah mereka. Manusia buta akan senyum anak-anak kecil yang mengais rezeki demi sesuap nasi dan lebih memilih menutup kaca mobil sambil bercengkrama tanpa peduli tokoh lain di luar kaca yang berharap jika kaca mobil itu akan terbuka. Wahai anak-anak malang, sayangnya kaca-kaca mobil itu tidak akan terbuka. Hingga lampu berubah berwarna hijau dan mobil-mobil di sana mulai melaju cepat, pengamen-pengamen cilik yang tidak memiliki tempat tinggal itu tetap tersenyum bersama teman-temannya. Mereka mulai menyebrang, menyingkir dari asap-asap hitam kendaraan yang mengaburkan wajah mereka dari pandanganku.
      Begitulah panggung sandiwara yang kutemui siang ini. Sandiwara, namun nyata dan benar-benar dapat kulihat dengan kedua mata tajamku. Dengan jelas, siang ini aku melihat sandiwara-sandiwara yang dimainkan oleh orang-orang dalam mobil mengkilat yang berpura-pura tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak merasakan kehadiran orang lain di luar diri mereka yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial yang begitu besar.
      Aku menghela napas lelah.
      Pengamen-pengamen cilik itu sudah hilang. Panggung sandiwara di tengah kota dan adegan yang tadinya menari-nari di pelupuk mataku mulai kabur dan hilang. Nampaknya, aku pun harus pergi mencari sisa-sisa makanan di beberapa tempat sampah. Sambil berjalan dengan keempat kaki, kugoyangkan ekor coklatku dengan mantap dan riang. Melupakan panggung sandiwara yang beberapa saat lalu kusaksikan, kini pikirku hanya satu. Mencari makan demi perut yang telah meronta ingin diisi.    Â
      Meong....
      Yes! Aku menemukan sisa kepala ikan di bungkus kertas minyak samping tempat sampah!.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H