Badanku mendadak kaku. Mataku melotot dengan kaki dan tangan yang mendingin. Perasaan yang lebih besar dari rasa takut sempurna mengubur rasa mualku untuk sesaat. Dengan hati dan pikiran tak karuan, aku berlari keluar ruangan dan berteriak menyebut satu kata yang mewakili apa yang baru saja kulihat.Â
Seonggok mayat dengan tubuh rusak yang terbuka di bagian dada hingga perut!. Oh, ayolah! Aku pergi dengan tujuan mengambil proposal kegiatan yang tadi siang tertinggal di ruang OSIS, bukan malah ingin melihat mayat sahabatku dengan organ yang telah hilang dan lubang mata kosong melompong penuh darah.
Tubuhku terhenti di depan satpam sekolah yang berjaga malam di depan gerbang. Dengan napas memburu dan wajah yang -aku yakin seratus persen- berwarna seperti manusia tanpa darah, oh yeah! Seperti mayat tadi maksutku, aku mencoba memberi tahu satpam dengan menarik lengannya sambil menunjuk ke dalam sekolah.
 Ia terlihat bingung dan berusaha menenangkanku dengan menanyakan perihal apa yang membuat aku berlari kesetanan dan hampir menangis di malam hari ini. Oh ralat! Aku sudah mengeluarkan air mata sejak berlari tadi.
 Dengan badan gemetar penuh keringat dingin, aku mulai mengucap kata mayat dan ruang OSIS dengan terbata. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya, yang aku sadari setelah itu adalah satpam yang bernama Setyo segera berlari ke dalam sekolah dengan mengajak satu temannya lagi, Anwar, yang tanpa aba-aba menyambar senter dari laci meja jaganya. Aku mengikuti dari belakang.
***
Pembunuhan berantai. Itulah kasus yang belakangan ini terjadi di sekolahku. Setelah malam di mana aku secara langsung menemukan mayat sahabatku, sekolah resmi diliburkan selama beberapa saat hingga kondisi kembali kondusif.Â
Kasus itu tentu saja menimbulkan kegaduhan besar dan tidak menutup berbagai asumsi para siswa yang aku yakin, para guru pun diam-diam berasumsi dalam otak mereka masing-masing.Â
Tidak ada satupun orang yang dapat dicurigai dalam kasus ini. Tidak denganku ataupun kedua satpam sore itu. Kami memiliki alibi kuat satu sama lain dan untungnya saling menguatkan. Sebenarnya sebelum mayat Maya, sahabatku yang terbunuh di ruang OSIS ini, juga ada dua kasus yang sama.Â
Pertama, pembunuhan Jati di mana mayatnya ditemukan di tumpukan pembuangan sampah belakang sekolah dengan beberapa organ dalam yang telah raib. Jantung, hati, ginjal, dan sepasang matanya telah raib, sama seperti Maya. Kasus kedua, Angel. Mayat Angel ditemukan paling mengenaskan dengan organ hilang seperti Jati dan Maya, namun kepala, kaki, serta  tangannya terpisah dan tercecer di ruang musik.Â
Semua itu terjadi di bulan yang sama. Satu bulan dengan tiga kasus pembunuhan tanpa ada seorang pun yang dapat dijadikan tersangka. Statusku? hanyalah seorang saksi dari salah satu kasus yang mirisnya, adalah kasus sahabatnya sendiri. Semoga statusku akan tetap seperti itu.
Sudah berjalan satu minggu, tapi nampaknya kasus ini benar-benar belum menemui titik terang. Para polisi, detektif, hingga paranormal turun tangan memecahkan motif dan dalang pembunuhuan ini.Â
Dari berita terakhir yang kudapat, mereka mulai menaruh kecurigaan pada hilangnya organ tubuh dan mulai berdebat dengan teori masing-masing. Para polisi berpendapat bahwa organ-organ itu mungkin dengan sengaja diambil untuk diperjualbelikan di pasar gelap, sedangkan detektif menolak keras teori tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut terlalu lumrah dan terkesan sembrono.Â
Menurutnya, pasti semua kasus pembunuhan di sekolah ini saling berhubungan dan memiliki sebuah rencana kelam yang cuukup rumit, menilik bagaimana cara mereka terbunuh yang terkesan berani dan sangat gila. Kedua teori itu mendapat respon yang jauh lebih sedikit ketimbang teori terakhir yang disampaikan paranormal.Â
Dengan teori yang tersebar begitu cepat, ia berhasil menanam ketakutan besar para siswa maupun guru mengenai sosok mengerikan yang katanya, tengah murka dengan sekolah karena beberapa faktor, faktor gila menurutku. Berbagai nama makhluk halus yang sering kudengar dari film horor pun mendadak ramai disebut. Dan yang paling sering kudengar adalah, kalian tahukan? Kuntilanak dan genderuwo!. Yang benar saja! Dua makhluk itu kebetulan adalah sosok paling menakutkan, setidaknya menurut versiku.Â
Oh, tunggu! Tidak! Tidak! Aku bukan korban selanjutnya kan? Walaupun teori terakhir ini paling menggelikan dan hampir saja aku tidak menaruh percaya sedikitpun, tapi jujur saja tubuhku sedikit merinding apalagi mengingat jika aku tinggal seorang diri di kontrakan.Â
Yeah, ayah dan ibuku memutuskan berpisah tiga tahun lalu dan dari pada ikut salah satu dari mereka yang jelas-jelas sangat problematic, aku memutuskan mengontrak rumah seorang diri.
***
Setelah hampir dua minggu, sekolah berhenti diliburkan. Tentu saja desas-desus tentang kuntilanak dan genderuwo itu tetap semarak, bahkan mengalahkan kasus pembunuhan itu sendiri. Ketika melewati gerbang sekolah, tiba-tiba bulu kudukku berdiri.Â
Anwar, satpam yang bersama Setyo pada hari kematian Maya saat itu, kini tengah menatapku tajam dengan sorot mata penuh... kebencian? Oh, kenapa ia menatapku seperti itu? Kulihat Setyo tengah meminum kopinya sambil terus bercerita panjang lebar pada Anwar yang tentu saja hanya sesekali menggubris karena terus memerhatikanku.Â
Aku tercekat selama beberapa saat tepat ketika ingatanku kembali melayang tentang bagaimana ekspresi berbeda yang ditunjukkan Anwar malam itu. Ekspresi yang diam-diam bertolak belakang denganku dan Setyo pada malam di mana kami melihat mayat Maya.Â
Anwar....bolehkah aku merasa takut padanya saat ini? daripada memikirkan hantu-hantu penunggu sekolah, justru aku lebih takut dan curiga kepada Anwar. Apa ia mengetahui sesuatu tentang kasus ini? atau jangan-jangan...
Aku segera memutus kontak mata dan berjalan cepat ke arah teman-teman menuju gedung sekolah.
"Renata! Oh, aku sangat berduka atas kematian sahabatmu! Tapi, ehem! Apa kau tidak merasa janggal atas kematian Maya? Yeah, semua korban maksutku. Cara mereka mati dan..."
"Aku duluan saja ya, Sar! Aku lupa mengerjakan PR.", kubawa kakiku berlari meninggalkan Sari dan Lina yang pasti tengah jengkel atas sikapku. Biar saja!, lagi pula untuk apa aku membahas kasus kematian itu? Selain karena masih merasa begitu kehilangan Maya, sejujurnya aku juga sangat malas menanggapi rumor-rumor tidak penting itu. Samar-samar masih kudengar ucapan mereka,
"Pasti anak itu takut dengan kuntilanak di sekolah kita, dasar penakut!".
Untuk sesaat, aku melupakan Anwar dan tatapannya yang menusuk.
***
Sebenarnya, sungguh malas kembali ke sekolah malam hari seperti ini. Mengingatkan tragedi berdarah yang menimpa sahabatku yang malang. Tapi, memangnya apa yang bisa dilakukan jika watak pelupa ini terus menempel pada batang otakku?Â
proposal yang seharusnya kuserahkan minggu lalu kembali tertinggal di almari OSIS setelah terbengkalai karena kematian Maya. Sungguh malam yang menyebalkan!. Setelah meminta kunci pada dua satpam yang, ehem! Sebenarnya aku sedikit takut dengan tatapan Anwar, tapi bagaimanapun proposal ini sangat penting dan aku harus mengesampingkan rasa takut yang mulai merambat ini.
Ah... akhirnya dapat juga proposal ini. Setelah menutup almari, aku berbalik hendak keluar ruangan. Belum sempat kaki ini melangkah, tubuhku menegang sempurna. Tepat di ambang pintu, Anwar berdiri memperlihatkan senyum puasnya yang mengerikan.Â
Dari saku celana seragam, dikeluarkannya sebilah pisau mengkilat yang membuat darahku berdesir aneh. Kujatuhkan proposal yang semula kugenggam erat dan bergerak mundur ketakutan.
"A...apa yang akan kau lakukan?", bibirku gemetar mengucap sebaris kalimat tersebut.
Kurekatkan punggungku pada almari yang tadi baru saja kubuka, berharap almari itu dapat menyedotku pindah ke tempat lain saat itu juga. Tapi tidak! Anwar justru semakin mendekat bersama pisau mengkilatnya yang haus akan kematian dan aku... hanya bisa pasrah, apakah aku selanjutnya? Kedua mataku terpejam dan tak lama kemudian...bruk!! MATI!!
 Dengan menyunggingkan senyum sinis, kubuka mataku sambil melipat kedua tangan penuh keangkuhan dan berucap lirih, "kau cukup pintar rupanya. Tapi sayang, kepintaran itu justru membuka jalan kematianmu sendiri!".
Sambil memandang tubuh Anwar yang tidak lagi menyisakan nyawa, kupungut proposal yang sengaja kujatuhkan dan menatap sosok di depanku yang tengah mengenggam sebuah clurit tajam penuh darah. Ia meyeringai puas.
"Kali ini giliranmu kan? Aku harus menyerahkan nama-nama korban selanjutnya pada bos kita.", sosok itu terkekeh melihat bagaimana aku berjalan menginjak dada Anwar yang ada di hadapannya.
"Oh, aku lupa mengatakannya. Bisakah kau membuatnya jauh lebih mengerikan dari tiga ayam sebelumnya?, dia cukup membuatku jengkel dan sibuk dengan sedikit berakting ketakutan", setelah itu aku benar-benar pergi dari gedung sekolah meninggalkan mayat Anwar yang akan segera diurus rekan kerjaku, Setyo. Â
Menanti berita baru yang menggemparkan sekolah akan kematian salah satu satpam, aku kembali menjadi siswi lugu yang tengah berduka atas kematian seorang sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H