Mohon tunggu...
Rizka Junanda
Rizka Junanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - writer

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Gelandangan Metropolitan

8 November 2024   22:03 Diperbarui: 8 November 2024   22:31 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak ini lahir di luar keinginanku!

Kupandangi wajah lugu yang baru tadi pagi menghirup udara kotor penuh asap knalpot. Aku menggeleng pelan, meredam rasa kecewa.

Terlepas bagaimana dan dengan siapa aku melahirkannya, ia tetaplah titipan Tuhan yang harus kujaga. Aku sedikit mengumpat kala mengingat bajingan keparat itu dengan berani menumbuhkan benihnya dalam rahimku. Aku masih senang bermain dan berkelana.  Namun, ia datang dalam kehidupan liarku dan kejadian panas itu tak dapat dihindari. 

Ia benar-benar berhasil menanam benihnya yang kemudian setelah berbulan-bulan tumbuh dan berkembang, hadir tanpa kuketahui di mana sosok bapak yang seharusnya berada di sisiku dan sang buah hati ini. Benar! Bapaknya kabur melepas tanggung jawab yang semestinya diemban. Oh, malangnya......

Jika diingat-ingat, hidup yang kujalani memang culup miris. Aku lahir tanpa tahu siapa kedua orang tuaku dan hidup dengan begitu liar tanpa ada yang melirik untuk sekedar mengadopsi. Memangnya siapa yang mau mengadopsi makhluk kurus yang dekil ini? ah, jangankan mengadopsi, mereka semua justru memandang jijik seakan aku ini makhluk paling hina di muka bumi.

Menilik bagaimana beratnya hidup yang kujalani selama ini, aku tidak mau ketiga putraku juga merasakan pahitnya hidup di jalanan kota. Mengais rezeki dari tong sampah demi sesuap nasi dan menjadi gelandangan metropolitan. 

Tidak boleh! Jika aku tidak bisa mendapat hak sebagai seorang istri, maka anak-anakku harus mendapat hak mereka sebagai anak dari bapaknya. Sambil memandangi hujan yang turun, aku bersumpah di hadapan anak-anakku akan terus mencari bapak mereka dan menjanjikan hidup layak yang semestinya.

Sayangnya, aku tidak tahu di mana makhluk bejat itu tinggal. Ah, dasar bajingan keparat!

***

          Hanya berbekal pada ingatan malam itu, hari ini aku memutuskan untuk meninggalkan kedua putraku di rumah yang kubuat sendiri untuk tempat tinggal mereka. Rumah dari kardus yang sangat buruk dan tidak dapat menjamin kenyamanan dan keamanan mereka. 

            Masih sedikit gerimis saat kaki ini dengan pasti melangkah dan menjelajah setiap sudut kota. Tapi demi ketiga bayi kembarku, hujan badaipun akan kuterjang asalkan mereka dapat merasakan kebahagiaan yang tak pernah kuicip sebelumnya. Sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru, aku sedikit terkekeh melihat banyaknya baliho-baliho partai yang tersebar di sisi jalan raya. Baliho partai dengan gambar manusia-manusia yang tidak kukenal. Lagi pula, untuk apa aku harus mengenal mereka? Sudah sering aku melihat kampanye yang diadakan di jalan raya, stadion dan apa untungnya bagiku? aku masih menjadi gelandangan. Mau sebanyak apapun partai-partai yang bersaing dan janji-janji yang berdesing di telingaku, sekali lagi masih sama. Aku tetaplah gelandangan metropolitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun