Dulu, saat pikiranku belum dipenuhi dengan bajingan keparat itu aku sering berpikir dan berkhayal untuk hidup dalam sebuah rumah yang begitu nyaman dan mampu makan tanpa harus puasa berhari-hari. Itu saja. Aku tidak ingin menjadi penguasa yang memiliki kekuasaan besar dan kekayaan melimpah yang tidak habis sampai tujuh turunan. Tapi, itu dulu.Â
Sekarang saat bayi kembarku telah lahir, kebahagiaan bagiku adalah memberikan mereka hidup sebaik mungkin. Tak masalah jika kelak mereka hidup bahagia tanpaku. Tak masalah jika aku selamanya menjadi gelandangan, asalkan bukan anak-anakku. Hah, terdengar sedikit melankolis memang. Tapi, itulah harapan ibu di seluruh dunia atau mungkin, harapan ibu gelandangan sepertiku.
***
Matahari sudah mulai megejekku dengan terik yang seakan membakar tubuh gelap ini setelah baru saja bersembunyi di balik awan hitam yang menimbulkan tetesan-tetesan air di muka bumi. Aku mendudukkan bokongku di trotoar jalan raya. Lelah sekali berkeliling kota mencari si bajingan yang tak kunjung muncul. Sambil melepas penat, kembali kuamati sekitar. Kali ini fokusku jatuh kepada empat lelaki kecil yang tengah membawa kaleng susu bekas dan bernyanyi di antara mobil-mobil yang terhenti di lampu lalu lintas. Pemandangan ini sebenarnya sudah biasa dalam hidup gelandangan sepertiku.
 Tapi, entahlah. Mungkin karena kami berbeda, jadi terkadang aku merasa sangat kasihan pada anak-anak pengamen jalanan yang tinggal di kolong jembatan itu bernyanyi dengan suara serak kurang air, wajah dekil penuh peluh, kaos kotor yang aku yakin tidak pernah dipakai oleh manusia-manusia yang duduk di atas kursi kebanggaan dan hanya membungkus tubuh kurus kurang gizi anak-anak malang itu.Â
Mirisnya lagi, tidak jarang kaca-kaca mobil itu enggan memberi sedikit celah untuk sekedar menyisipkan sebuah imbalan kecil dari suara-suara yang keluar di antara asap kendaraan. Mereka total abai dan menyumpal telinga dengan lagu-lagu yang lebih mendunia dari penyanyi yang justru sangat mampu membeli makan tanpa lagunya harus terus didengar di sepanjang jalan.
Ah, harusnya mereka, manusia-manusia dalam kendaraan mengkilat dan mahal itu paham. Satu koin yang mereka berikan mampu menumbuhkan senyum dan harapan hidup pengamen kecil itu. Toh, satu koin saja tidak akan membuat mereka jatuh miskin kan?. Hah, sedih sekali melihat pemandangan sehari-hari di kota ini. Anak-anak malang yang menyedihkan. Eh?? Ha ha ha, aku lupa. Ternyata aku lebih menyedihkan dari mereka. Â Â Â Â Â Â
      Berjam-jam aku menyusuri berbagai tempat dan sama sekali tidak kutemui tanda-tanda keberadaannya. Sudah hampir malam dan aku tidak bisa lagi lebih lama meninggalkan anak-anakku. Apakah ini bagian dari salah satu nasib burukku? Gagal memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku? Hah...sebelum berbalik, kusempatkan memandang langit sore sejenak.Â
Mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang di jalanan sebagaimana mereka mengabaikanku. Sambil memandang langit, hatiku sedikit menyerukan protes pada Tuhan. Kenapa hidupku Ia atur sesulit ini? aku terima saat diciptakan tanpa mengenal orang tua.Â
Terima saat setiap hari mengais makanan sisa di jalanan. Terima tidur di segala tempat dan ditendang kasar oleh orang-orang yang menyuruhku bangun. Aku terima semuanya. Lalu, apa sekarang aku juga harus terima saat Tuhan tidak mengabulkan satu harapanku untuk memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku?
Ah, sepertinya memang seharusnya seperti ini.