Halo, kamu!Â
Kalau dalam hati kamu membalas sapaan saya, terima kasih, ya. Tandanya kita sama, manusia. Bagian dari populasi mamalia terbesar yang ada di dunia. Baik, manusia dari (atau bisa berbahasa) Indonesia lebih tepatnya.Â
Tahun ini, kira-kira ada 7,2 milyar manusia yang menempati bumi ini. Data ini saya dapat dari manusia lain, pak Budi Rahardjo namanya. Kami berkenalan secara daring lewat acara Danone Community Engagement Day (DCED) 2022, lalu. Saya akan ceritakan tentang beliau lain kali.Â
Mari bahas dulu populasi sesama kita yang terus bertambah secara pasti.Â
Saat ini saja, jangan dulu bahas kasus kelaparan. Angka stunting atau kasus gagal tumbuh pada anak-anak di Indonesia saja masih sangat tinggi. Salah satu faktor utamanya? Gizi dari makanan. Aneh kan, makhluk bumi tapi gagal tumbuh di tempatnya sendiri?
Bahkan di tanah yang katanya tanah surga.Â
Manusia Terlalu Banyak Makan Tanah
Tanah yang tak lagi bisa menumbuhkan benih mengancam sumber gizi, dari mulai serat sampai protein yang manusia makan. Hewan-hewan yang paling banyak dikonsumsi sebagai sumber protein dan lemak saat ini kan juga harus diberi pakan dan tumbuh sehat dahulu sebelum dikonsumsi.
Mungkin saking berasanya surga, yang "dimakan" oleh banyak dari manusia Indonesia malah tanahnya. Lahan pertanian yang menghasilkan pangan, sekitar 30%-nya rusak. Belum alih fungsi jadi bangunan atau jalan. Lalu lahan penghasil bahan pangan dibuka lagi dengan cara  deforestasi hutan.
Bukan hanya luasan area tanahnya yang terus menerus dihabiskan. Praktik penanaman bahan pangan yang cenderung satu jenis atau monokultur juga mengikis kandungan mikroorganisme di dalam tanah.Â
Penggunaan pupuk berbahan kimia anorganik dan pengolahan tanah berlebihan juga turut membuat tanah semakin miskin. Bahkan melepaskan unsur penting di dalam tanah menjadi polutan ke udara yang mengancam kenaikan suhu di bumi.
Padahal kurang dari 30 tahun lagi, menurut pak Budjo -sapaan akrab Budi rahardjo- populasi manusia di bumi akan bertambah kira-kira 2 milyar lagi! Itu baru manusia, padahal yang tinggal dan bergantung pada tanah untuk sumber makanan kan bukan kita saja.Â
Tanah Terancam Jadi Lautan Sampah
Ancaman pada tanah atau lahan bukan hanya datang dari sistem pertanian yang dicaplok dan mencaplok ekosistem lain. Lagi dan lagi, dalam DCED 2022 yang dikemas dalam Kelas Intensif Membuat Konten, hadir mba Annie Wahyuni yang mengingatkan 60-an manusia lain dalam forum ini.Â
Tanah juga manusia usik atas kebutuhannya akan berbagai produk yang bisa menjangkau kebutuhan. Tentu akibatnya ada banyak potensi sampah dari apapun yang manusia konsumsi. Wong pada dasarnya, dalam sistem tubuh pun limbah pun tetap akan dihasilkan dari apapun yang bisa kita makan.Â
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, dari 6,8 juta ton sampah, baru sekitar 30%-nya yang bisa terkelola. Banyak dari sampah tertimbun tidak terkelola, seperti pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA).Â
Luas TPA sendiri bisa memakan banyak lahan atau tanah yang mungkin berpotensi digunakan lebih produktif. Ada lagi sampah-sampah yang tidak terkumpulkan dan terbuang kemudian tertimbun begitu saja di tanah tanpa bisa diurai. Bisa jadi sampah-sampah ini masuk ke lahan pertanian, kan?
Cara cepat lain yang masih mudah ditemukan di sekeliling kita adalah pembakaran terbuka untuk "memusnahkan" sampah. Tau kan, selain asap? Pembakaran justru menimbulkan polusi dan mikroplastik yang tertanam di dalam tanah. Tanahnya juga lagi-lagi berpotensi rusak, deh.Â
Hanya Manusia yang Mampu
Masalah tanah yang masih kita butuhkan untuk menyediakan sumber makanan (dan tentu saja banyak kebutuhan lainnya) ini datangnya kan dari kita. Ayo, akui saja. Tentu tiap orang, kelompok, atau usaha mendatangkan porsi masalahnya masing-masing.
Danone Indonesia sebagai salah satu perusahaan besar sudah dan sedang terus memaksimalkan tanggung jawabnya kepada tanah dan lingkungan. Apa lagi bahan baku dari produknya berasal dari alam dan membutuhkan kemasan untuk tetap sampai kepada pelanggan dengan aman.
Sistem sirkular dijalankan secara disiplin oleh Danone Indonesia untuk mengganti sistem linear yang mengakar dan telah terlalu membahayakan bumi. Beberapa yang telah diterapkan di bidang pertanian antara lain, meminimalisasi pengolahan tanah, memaksimalkan penggunaan pupuk berbahan organik dari limbah peternakan maupun rumah tangga, sampa membuat sistem pertanian tumpang sari atau kebun hutan.
Pengelolaan limbah, terutama yang sulit diurai tanah juga jadi perhatian Danone. Kesadaran akan keselematan konsumen dan bumi, kemasan produk, terutama yang berbentuk plastik dikumpulkan kembali.Â
Danone bahkan kini punya 6 unit bisnis daur ulang yang tersebar di Jawa hingga Nusa Tenggara Barat. Untuk apa? Untuk kembali dijadikan kemasan produk Aqua tanpa menambah sampah dengan tetap kualitas dan keamanan terbaik.
Apa yang dilakukan Danone Indonesia rasanya besar dan terlalu sulit jika ingin dimulai sendiri. Tapi ternyata, kita bisa jadi bagian menjalankan rantai ini berkelanjutan ini, lho! Menanam bahan pangan untuk konsumsi pribadi, misalnya.Â
Kalau itu masih tidak memungkinkan, berpikir sejenak sebelum membeli barang dengan mempertimbangkan beberapa hal juga bisa membantu. Tiga pertanyaan ini mungkin membantu:
1. Apakah ini benar kebutuhan kita?
2. Bisakah kemasannya kita gunakan lagi atau setidaknya dipilah dengan baik?
3. Adakah kemasan produk serupa yang lebih minim sampah?
Terakhir, kalau tak mau terus sendirian, sebarkan apa yang sudah dan ingin kamu lakukan untuk bumi ini lebih baik. Informasimu akan menemukan mereka yang membutuhkan, kok. Itu kata kak Gerald Vincent yang sudah konsisten membagikan banyak hal berguna di sosial media.
Termasuk tulisan ini, semoga tak berhenti di kamu, ya. Ayo jaga bumi yang cuma satu ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H