Ramadan dengan masjid atau surau seperti teman lama yang akrab dan hangat. Satu-satunya kesempatan anak perempuan sering-sering berada di sana ya memang hanya ketika Ramadan, kan? Begitu pun saya ketika kecil. Namun gender, umur, dan pandemi menjauhkan saya dari tempat yang sering mendadak hidup nyaris 24 jam selama kurang lebih 30 hari.
Mushola atau surau paling lekat dalam ingatan saya berjarak setengah kilometer dari rumah. Saya tidak merindukan tarawih di sana, jujur saja. Rakaatnya nyaris selalu 23, ceramahnya lama dan makin hari makin sulit bahasanya, belum lagi anak lelaki yang banyak bermain mercon di berandanya. Tapi, agenda sebelum dan sesudahnya sering membuat saya rindu.
Setiap rumah dijatah memberi makanan buka puasa untuk pengurus masjid dan jamaah. Saya kerap membantu ibu mengantarkannya ke sana dan menikmati rasa penasaran teman sepantaran saya yang kebanyakan laki-laki mengintip apa yang saya bawa. Iya, mereka pasti lebih punya banyak kenangan karena justru diwajibkan ke mushola sejak sore hingga malam.
Lalu seminggu sekali, akan ada buka puasa bersama seluruh warga sekitar. Kesempatan yang makin besar semakin sering saya lewatkan. Teman-teman perempuan yang saya kenal dan berusia lebih tua pasti sudah mengundurkan diri terlebih dahulu, malu alasannya. Padahal, jika mereka tau akan ada waktu seperti sekarang, mereka mungkin akan bertahan dari rasa tak beralasan itu. Saya jadi juga tak lama mengalaminya, tak ada teman, buat apa?
Setelah rangkaian solat maghrib-isya-tarawih selesai, ada tadarus Al-Quran di surau itu. Saat saya masih ada di bangku SD, tadarus dilakukan oleh banyak anak-anak seumuran saya hingga yang duduk di bangku SMA. Saya ingat, setelah beberapa kali ikut duduk saja di sana, saya meminta mikrofon dan ikut mengaji bergantian. Saya merasa percaya diri, karena semua anak di sana dibolehka mencoba. Lancar atau pun belum membaca Al-qur'annya.
Saya yang lancar mengaji sejak kelas dua tentu saja mau dong mencoba. Eh kok setelah itu seingat saya hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Anak laki-laki yang lebih besar bilang saya tak usah lagi ikut-ikutan. Alasannya, karena saya satu-satunya suara perempuan. Mau nangis rasanya. sebal.
Meski begitu, campuran berbagai jenis suara teman-teman saya yang lain masih lebih menghibur rasanya. Sampai jam 11 malam akan ada yang terus menyambung ayat terakhir yang dibacakan dengan langgam atau kelancaran yang berbeda. Sekarang? Tahun lalu saya pulang, hanya ada satu suara yang terdengar. Jauh sampai malam mendekati waktu sahur. Â Lancar, tajwidnya baik. Semoga sebenarnya ada beberapa tapi memang saat ini kemampuan mereka sama. Yang jelas bukan anak-anak.
Sekitar rumah saya masih banyak anak-anak. Tapi main petasan tuh di depan rumah saya. Bahkan di depan surau pun sekarang mereka tak mau. Yah, saya rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H