DISIPLIN ETIKA DAN MORAL DI ERA DIGITAL,Â
MASIHKAH RELEVAN?
Oleh : Rizka Aulia Lestari
Perkembangan teknologi yang semakin pesat semakin mempengaruhi gaya hidup yang serba digital. Tantangan pada era digital telah masuk diberbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan dan teknologi informasi itu sendiri. Generasi 4.0 sebagai regenerasi dan pewujud cita-cita negara seyogyanya dapat membangun kedisiplinan etik yang memotivasi semua kalangan.Â
Khususnya pada pengawasan di pengadilan oleh Komisi Yudisial dibantu agen klinik etik dan advokasi sebagai upaya preventif dalam pencegahan perbuatan merendahkan kehormatan hakim. Dengan itu fungsi kode etik terhadap profesi hukum adalah sebagai filter dan penyeimbang guna mengarahkan professional hukum menuju tindakan yang sesuai moral.
Semenjak Pandemi, semua dari berbagai bidang dan dari berbagai usia  didesak dengan penggunaan tekonologi. Menuju HUT 77 Kemerdekaan Republik Indonesia, Generasi 4.0 semakin menjadi terbiasa dengan teknologi.Â
Adapun khususnya dalam proses pengadilan secara online berdasarkan SK KMA No. 108/ KMA/ IV/ 2020 tentang kelompok kerja Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara elektronik, bahwa persidangan dapat dilaksanakan secara online baik sejak awal persidangan maupun saat sidang sudah berjalan.Â
Namun Kode etik tetap perlu digunakan. Karena pada dasarnya, kode etik menguraikan peraturan-peraturan dasar perilaku yang dianggap perlu bagi anggota profesi untuk melaksanakan fungsinya secara jujur dan menjaga kepercayaan masyarakat.Â
Kode etik sebagai kontrol moral khusunya profesi hukum dalam menjalankan tantangan dan kendala dilapangan seyogyanya tidak merusak citra profesi dan kepercayaan masyarakat.Â
Etika dan moral tidak hanya dipegang oleh pihak yang berprofesi. Generasi 4.0 dari berbagai bidang pun harus memegang teguh etika dan moral sebagai upaya preventif tidak terjadinya semena-mena di lapangan.
Tetapi kenyataannya sering terjadi pelanggaran etik dari profesi itu sendiri, seperti perkara Pinangki pada putusan PT. Jakarta Nomor 10/PID.TPK/2021/PT DKI, Jaksa tersebut menjanjikan untuk kepentingan pribadi dengan nama dan cara apapun dan meminta atau menerima hadiah dengan cara korupsi.Â
Hal ini tentu melanggar kode etik profesi hukum yang di atur pada peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Sehingga Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum semakin menurun.Â
Dari pelanggaran yang merusak citra kelembagaan menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum pun menurun. Fakta dilapangan yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menimbulkan tantangan terbesar bagi profesi hukum khususnya hakim setelah proses persidangan selesai.
Publikasi merendahkan kehormatan hakim melalui teknologi menyebar begitu cepat seolah tidak ada pertimbangan yang benar diputuskan oleh hakim dalam proses pengadilan.Â
Padahal pada dasarnya sistem pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman sudah dibagi menjadi dua yaitu Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pengawas internal di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal dan Tata tertib persidangan sudah di atur dalam PERMA No 5 Tahun 2020 tentang protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan. Sehingga seharusnya seluruh dari berbagai bidang memegang teguh aturan tersebut. Â
Cita cita nasional akan tercapai apabila kebijakan di terapkan dengan baik serta etika dan moral perlu ditegakan sejak dini dari berbagai bidang khususnya generasi 4.0. Generasi milenial, Generasi yang harus siap mengimplementasikan kebijakan dengan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H