Ngedunke lemah merupakan salah satu budaya jawa yang masih dilestarikan di Jepara, khususnya di desa Tahunan. Ngedonke lemah biasa dikenal dengan istilah "tedhak siten" yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah menginjak tanah, sedangkan dalam bahasa jawa ngoko disebut medon lemah.Â
Nah dari sinilah masyarakat Tahunan, Jepara lebih sering menggunakan istilah ngedunke lemah karena dianggap biasa dengan bahasa sehari-hari mereka.Â
Ngedunke lemah "Tedhak siten" pada hakikatnya adalah sama hanya saja istilah penyebutannya yang berbeda. Bedo deso bedo coro "beda desa beda cara" begitulah masyarakat sering menyebutnya.Â
Namun tak ayal jika keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai bentuk rasa syukur karena sang anak akan mulai belajar berjalan. Ngedunke lemah biasanya dilakukan ketika sang anak telah menginjak umur 7 lapan (bulan).
Upacara ngedunke lemah juga tidak lepas dari berbagai symbol dan makna. Secara keseluruhan, upacara ini bermakna untuk mengajarkan anak tentang konsep kemandirian, tanggung jawab, tangguh dalam menghadapi persoalan, serta bersifat dermawan terhadap sesamanya. Â
Setiap langkah dan aspek dari upacara ini menyimbolkan hal-hal tertentu dalam kehidupan sang anak, dan inilah yang membuat upacara ini penuh warna. Tahapan dalam upacara ngedunke lemah di desa Tahunan adalah sebagai berikut:
Pembacaan doa dan membersihkan kaki
Para orangtua akan melakukan selamatan bersama. Biasanya dalam tahap ini sang anak akan didoakan (pembacaan tahlil dan ayat suci al-quran) agar hidupnya kelak akan diberi keselamatan serta kebahagian dari sang Maha Kuasa. Tahap ini kaki sang anak juga akan dibasuh dengan air oleh sang kyai atau sesepuh dalam keluraga.
Berjalan pada 7 wadah
Dalam tahap ini sang anak akan dituntun untuk berjalan diatas 7 bubur ketan (sebuah makanan yang dibuat dari beras ketan dan kelapa yang dikukus, dihaluskan dan dicetak).Â
Jumlah 7 mengacu pada bahasa Jawa Pitu yang artinya adalah pitulung atau pertolongan. Proses ini diharapkan dalam perjalanan kehidupannya kelak akan senantiasa diberikan pertolongan oleh Allah SWT.
Menaiki tangga dari tebu
Sang anak akan dituntun untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu naik turun sebanyak 3 kali. Setiap anak tangga yang dilewati merupakan symbol dari tahapan kehidupan. Pemilihan tebu sendiri dianggap sebagai singkatan dari antebing kalbu.Â
Dalam tahap ini diharapkan agar sang anak akan memiliki ketetapan hati dalam menjalani setiap tahap kehidupannya kelak
Dimasukkan ke dalam kurungan ayam
Anak dimasukkan dalam kurungan ayam, di mana dalam kurungan tersebut telah disediakan berbagai benda seperti buku, mainan, uang, makanan. Benda yang dipilih sang anak dianggap menjadi potensi yang ada dalam diri mereka.
Ngroyok Duwit
Pemberian uang logam yang telah dicampur dengan beras kuning (beras dicampur parutan kunir) atau istilahnya di desa Tahunan adalah 'ngroyok duwit'.Â
Dalam momen ini ada adegan lucu yang mewarnai, kadang orang tua saling sodok, saling injak, dan saling cakar(secara tak sengaja) dengan anak kecil.Â
Gelak canda, tawa mewarnai dalam proses ini. Adapun yang diharapkan dalam tahap ini adalah agar sang anak nantinya memiliki rejeki  berlimpah namun tetap bersifat dermawan.
Dimandikan dengan air bunga setaman
Sang anak dimandikan dengan air yang dicampur kembang setaman sebagai symbol harapan agar sang anak akan membawa nama harum bagi keluarga.
Dipakaikan baju yang elok dan bersih
Anak dipakaikan baju yang elok dan bersih dengan harapan agar anak akan menjali kehidupan yang baik nantinya.
Seluruh tahapan pastinya mempunyai makna tersendiri menariknya adalah budaya ngedunke lemah adalah perpaduan budaya jawa dengan budaya islami. Perpaduan nilai Jawa-Islam Ngedunke Lemah adalah salah satu budaya jawa yang telah beradaptasi dengan islam sebagai agama mayoritas di Jawa.Â
Di kalangan jawa islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya islam jawa yang memiliki ciri luarnya menggunakan symbol islam, tetapi ruhnya adalah jawa sinkretis. Maksudnya adalah islam sebagai wadah sedangkan jawa adalah isinya.Â
Para walisongo dulu dikenal sangat toleran dalam menyampaikan ajaran islam di tengah masyarakat jawa yang sebelumnya telah memiliki keyakinan membiarkan adat istiadat jawa tetap hidup, tetapi diberi warna keislaman seperti: bacaan mantra diganti dengan bacaan tahlil, tahmid, tasbih serta kalimah thoyyibah dan sesaji diganti dengan selametan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H