Mohon tunggu...
Rizka Sentia
Rizka Sentia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa smester akhir

Pendengar yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Dinasti di Negara Demokrasi

19 Desember 2020   10:10 Diperbarui: 19 Desember 2020   10:57 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: matanews.com/Luwarso

 Indonesia baru saja menyelenggarakan pilkada serentak beberapa hari lalu. Total daerah yang melaksanakan pilkada serentak ini berjumlah 270 daerah. Ada beberapa hal yang disoroti dalam proses pilkada serentak pada tahun ini, selain pilkadanya yang diselenggarakan di masa pandemi, beberapa paslon yang masih berkerabat dengan para pejabat pemerintah juga mendapatkan sorotan dari publik. 

Seperti dinasti dalam demokrasi, anak hingga menantu menduduki posisi strategis dalam pemerintahan negara. Istri pejabat adalah calon yang paling banyak (43 orang) jika disbanding dengan keluarga atau kerabat lainnya.

Marlina Agustina misalnya, calon Wakil Gubernur nomor urut tiga dapil  Kepulauan Riau. Ia merupakan istri dari Wali Kota Batam, Muhammad Rudi. Tak ketinggalan dari provinsi DIY, Kustini Sri Purnomo, istri dari Bupati Sleman, Sri Purnomo, berpasangan dengan Dadang Maharsa mencalonkan diri sebagai Bupati Sleman menggantikan suaminya. Rezita Melyani, istri dari Bupati Indragiri Hulu Yopi Arianto juga mencalonkan diri sebagai bupati Indragiri Hulu nomor urut dua menggantikan suaminya. Berdasarkan hasil sementara, mereka semua unggul di masing-masing daerahnya. 

Kemudian ada Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang sedang hangat diperbincangkan karena kemenangannya dalam kontestasi di ajang pilkada tahun ini. Keduanya adalah keluarga dari presiden Joko Widodo yang tak lain adalah anak dan menantu.  Gibran Rakabuming Raka diusung oleh lima partai, PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, PSI dan PKB. 

Berdasarkan hasil poling Quick Count data per Kamis, 10 Desember 2020, Gibran Rakabuming Raka unggul dengan perolehan suara 87,15% dalam pilkada Wali Kota Solo. Sedangkan Bobby Nasution mengungguli kandidat paslon lainnya dengan selisih yang tipis. Diusung oleh koalisi partai yang sama, Bobby Nasution berhasil mendapatkan 55,19% suara masyarakat kota Medan. 

Beralih ke provinsi Banten, ada keluarga yang sedang bergelut dalam ajang pilkada 2020 di provinsi ini. Ratu Tatu -- Ibu dari Pilar Saga sekaligus adik dari Ratu Atut - adalah Bupati Serang periode 2016-2021 yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada 2020. Diusung oleh sepuluh partai, berdasarkan hasil Quick Count petahana tersebut unggul dalam melawan kandidat lainnya.  

Putranya, Pilar Saga, juga mencalonkan diri menjadi wakil Wali Kota Tangerang Selatan bersanding dengan Benyamin Davnie -yang tak lain adalah wakil dari Wali Kota Tangerang Selatan dua periode sebelumnya bersanding dengan Airin Rachmi yang tak lain adalah adik ipar dari Ratu Tatu dan Ratu Atut ( istri Tubagus Chaeri Wardana)- juga unggul dengan perolehan 41,2% dari dua pesaingnya yang juga kerabat para pejabat. 

Dari paslon nomor satu, ada Rahayu Saraswati yang merupakan keponakan dari Menteri Pertahanan, Probowo Subianto dan dari paslon nomor dua, ada Siti Nur Azizah yang tak lain adalah putri wakil Presiden Ma'ruf Amin. Layaknya sebuah Dinasti, posisi strategis di provinsi Banten hampir diduduki oleh keluarga besar Ratu Atut, mulai dari anak, adik, menantu, keponakan hingga saudara tirinya. Dari tahun-ketahun, provinsi Banten selalu dimenangkan oleh petahana yang berasal dari partai Golkar. Nama-nama yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari 146 kandidat yang tercatat berkerabat dengan para pejabat. Angka ini tercatat sebagai rekor terbanyak dalam sejarah Indonesia.

Menempatkan para kerabat di kursi pemerintahan merupakan sebuah tindakan nepotisme. Politik dinasti memang erat kaitannya dengan sistem pemerintahan monarki. Namun hal tersebut tak menampik negara demokrasi untuk melakukan hal serupa. Dapat dikatakan bahwa politik dinasti yang berlangsung di negara demokrasi adalah sebuah praktik nepotisme yang terselubung. Politik dinasti atau politik kekerabatan sebenarnya adalah gaya politik model lama, hanya saja sistem pelaksanaannya berbeda. 

Jika dulu para penerus langsung ditunjuk, sekarang para penerusnya harus mengikuti jalur politik prosedural melalui partai plitik.   Di Indonesia praktik tersebut telah terjadi pada masa Presiden Soeharto. Gerakan reformasi melengserkan Soeharto atas dugaan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasca orde baru, nampaknya praktik-praktik tersebut tetap dilakukan oleh para pejabat pemerintah dan justru malah semakin subur. Tentunya saya mengatakan demikian karena inilah realita yang saya saksikan dan ini tentu hanya pandangan subjektif saya.

Politik dinasti atau kekuasaan politik yang dijalankan oleh keluarga atau kerabat para pejabat sebenarnya menunjukkan kegagalan. Politik tersebut membuat ruang persaingan semakin sempit dan mempersulit regenerasi dari tokoh baru yang lebih mumpuni. 

Memang tidak ada larangan mengenai hal tersebut, meskipun pada tahun 2015 Mahkamah Konstiutsi sempat melarangnya dalam Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 7 huruf r, namun peraturan tersebut telah di cabut atas dasar hak memilih dan dipilih yang tercantum dalam UUD 1945 dan ditegaskan dalam pasal 28 D ayat 3.

Tidak salah juga jika keluarga para pejabat mengikuti jejak perpolitikan keluarganya, terlebih jika mereka semua berkompeten dalam membenahi kotanya masing-masing. Hal yang disayangkan adalah apabila para kandidat tersebut bukanlah seorang politisi partai yang berpegalaman.

Wajar rasanya jika ada sebagian masyarakat yang merasa khawatir dengan politik kekeluargaan yang berlangsung di Indonesia, sebab saya pun demikian. Khawatir praktik ini bila dipelihara dalam jangka waktu yang panjang akan melahirkan raja-raja kecil di daerah yang secara tidak lansgusng menciptakan sistem oligarki yang terselubung.

Satu-satunya manfaat dari adanya praktik politik kekeluargaan dan kekerabatan adalah para kandidat akan lebih mudah dikenal masyarakat dan jalan untuk semua keluarga yang ingin terlibat dalam sistem pemerintahan semakin terbuka dan semakin mudah untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. 

Meskipun pemimpin yang sedang menjabat memiliki kinerja yang bagus, belum tentu keluarganya yang lain juga memiliki kemampuan serupa. Dikhawatirkan hal ini akan membuat orang yang tidak kompeten memegang kekuasaan dan orang yang kompeten tidak dilirik karena alasan bukan keluarga.

Ini semua memang subjektifitas pemikiran saya, tapi dalam kenyataannya memang demikian. Dinasti Atut di Banten adalah bukti nyata. Ratu Atut terjerat kasus megakorupsi yang juga mengikut sertakan adiknya Tubagus Chaeri Wardana (Wawan). Namun adanya kasus korupsi tersebut tidak mematikan langkah keluarganya yang lain untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan Banten. Istri wawan sang koruptor, Airin Rachmi justru dicintai masyarakat Tangerang Selatan, terbukti dirinya berhasil menjabat dua periode sebagai Wali Kota Tangerang Selatan. Ia hanyalah salah satu dari keluarga Atut yang menduduki posisi strategis di provinsi Banten. 

Masih ada suami, Hikmat Tomet (anggota DPR RI Komisi V periode 2009-2014); anak, Andika Hazrumy, (Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022) dan Andiara Aprilia Hikmat (Anggota DPD RI selama dua periode yaitu 2014-2024); menantu, Adde Rosi Khoerunnisa (anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar periode 2019-2024) dan Tanto Warsono Abran (Wakil Bupati Pandeglang 2016-sekarang); adik, Ratu Tatu Chasanah (Bupati Serang 2016-sekarang); saudara tiri, Tubagus Haerul Jaman (Anggota DPR RI periode 2019-2024); hingga keponakannya Pilar Saga Ichsan (calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan) yang menanbah daftar baru keluarga atut yang memilki posisi strategis di Banten. Mereka hanyalah sebagian dari beberapa nama tokoh pejabat yang berasal dari keluarga Ratu Atut.

Politik dinasti di Banten adalah salah satu praktik politik kekeluargaan yang saya ketahui. Sepertinya masih banyak lagi praktik politik serupa yang terjadi di daerah-daerah lain. Korupsi, kolusi atau tidaknya memang saya tidak mengetahuinya. Namun praktik politik yang demikian sangat rentan sekali menimbulkan penyimpangan kekuasaan. Dikhawatirkan kasus korupsi akan kian marak dan semakin tertutup rapi jika para pejabat pemerintah berasal dari satu garis keturunan yang sama.

Sumber: 

satu, dua, tiga, empat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun