Kelompok ini melaksanakan aksi yang bertujuan untuk melindungi Soekarno tanpa rencana yang matang. Semua kekurangannya terlihat sangat jelas. Gerakan yang direncanakan pada 30 September baru dilancarkan pada 1 Oktober dini hari dan meghasilkan malapetaka.Â
Pasukan yang bertugas menculik para jenderal tidak pernah mendapatkan pelatihan dan mereka ditugasi secara mendadak. Dari tujuh tim, hanya tiga yang berhasil menawan para jenderal dan membawa pergi mereka hidup-hidup. Nasution lolos. Yani dan dua jenderal lainnya ditembak atau ditusuk ketika mereka memberikan perlawanan.
Ketika pimpinan G-30-S mengetahui bahwa seorang jenderal lolos dan tiga dari enam orang yang ditangkap telah mati, mereka memutuskan untuk membatalkan rencana awal yang akan  membawa para jenderal kehadapan Soekarno di istana. Mereka terpaksa menembak mati semua tawanan dan menyembunyikan jenazahnya.
Karena aksi pokok G-30-S telah gagal, semua langkah berikutnya pun ikut gagal. Soekarno yang berhasil ditemui Supardjo di Halim memerintahkan Supardjo untuk menghentikan G 30 S dan memastikan agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah. Supardjo dan beberapa perwira lainnya bersedia mematuhi perintah Soekarno. Namun, Sjam dan Aidit tetap ingin meneruskan G-30-S. Usaha Sjam dan Aidit hanya sia-sia belaka. Apa yang mereka rencanakan justru membawa perundungan bagi PKI.
Gerakan 30 September yang berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira progresif mulanya dirancang untuk berhasil. Karena Gerakan  ini diorganisasi dengan cara yang sangat buruk dan karena Angkatan Darat telah mempersiapkan pukulan balik. Suharto yang telah mengetahui bayangan G 30 S melalui info dari Kolonel Latief, dengan segera ia memanfaatkan aksi tersebut sebagai dalih untuk menyalahkan PKI. Bentrokan yang sudah lama dinanti akhirnya terjadi. Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya.
Suharto menggunakan G 30-S sebagai dalih merongrong kekuasaan secara bertahap dan melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Cara yang dilakukan Suharto disebut juga sebagai kudeta merangkak.Â
Kudeta merangkak Suharto terhadap Soekarno berjalan mulus. Enam orang jenderal dari pimpinan tertinggi menjadi korban G-30-S namun mereka yang selamat, seperti Suharto, Nasution, dan Sukendro meneruskan rencana berikutnya.
Suharto menyembunyikan kudeta merangkaknya sebagai tindakan murni konstitusional dengan restu Soekarno untuk menggagalkan kup PKI. Suharto tetap mempertahankan Soekarno sebagai presiden sampai Maret 1967. Dalam suasana darurat nasional tahap demi tahap Suharto merebut kekuasaan Soekarno dan menempatkan dirinya sebagai presiden de facto.Â
Soekarno menyadari bahwa militer berangsur-angsur menggerogoti kekuasaannya dan Indonesia terpecah belah oleh kekuatan imperial, kolonial, dan neokolonial (nekolim). Soekarno berusaha menahan diri dan tidak melancarkan tentangan secara serius sebab ia mengkhawatirkan terjadinya perang saudara jika menggalang pendukungnya melawan Suharto.
Perintah Soekarno pada 2 Oktober 1965 yang dikeluarkan dalam situasi darurat dijadikan landasan yang memberi wewenang kepadanya untuk memulihkan ketertiban negara. Suharto situasi darurat itu tidak pernah berakhir. Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada masa itu tetap dipertahankan sampai akhir kekuasaannya (dengan penggantian nama menjadi Bakorstanas pada 1988). Badan ini memungkinkan personil militer bertindak di luar dan di atas hukum dengan dalih keadaan darurat.
Kemenangan Suharto dalam melawan komunis membawa peruntungan Amerika Serikat. Dalam laporan utama majalah Tank menyebutkan bahwa kemenangan Suharto atas PKI adalah kabar terbaik bagi dunia Barat.Â