Sebagai pekerja kantoran yang menggunakan moda transportasi KAI Commuter setiap harinya saya sudah sangat hapal dengan situasi dan kondisi saat menaiki kendaraan angkutan masal tersebut. Selama tidak ada gangguan, saya tidak masalah walau setiap hari harus berdesak-desakan dengan penumpang lain saat menaiki KRL commuter line, karena menurut saya lokasi tempat tinggal saya di Depok dan kantor yang berada di Sudirman akan jauh lebih cepat jika ditempuh dengan KRL.
Saat jam-jam sibuk seperti berangkat kerja dan pulang kerja, seluruh penumpang pastinya sudah sangat paham bagaimana penuhnya rangkaian gerbong kereta. Terutama stasiun-stasiun besar yang untuk naik ke dalam rangkaian kereta saja harus berebutan dan adu kuat dahulu. Tentu saja hiruk-pikuk menaiki KRL bukan hal yang baru lagi bagi saya yang sudah bertahun-tahun menjadi Anker alias Anak Kereta sejati.
Kegundahan mulai muncul saat saya dinyatakan hamil anak pertama. Jujur saja saat itu saya kebingungan bagaimana jika nanti kondisi KRL yang ramai bisa membuat kondisi kehamilan saya menjadi terganggu. Apalagi jika menengok stasiun Depok dan Sudirman yang keduanya merupakan stasiun-stasiun ramai penumpang.
Saya takut sekali di kehamilan saya yang pertama itu, saya kesulitan masuk atau bahkan tidak mendapatkan tempat duduk. Untuk Anker sejati pasti sudah sangat terbayang bagaimana situasinya. Saya sempat terpikir untuk naik motor saja ke kantor, tapi jika mengingat macetnya jalan pagi hari tentu membuat saya yang sedang hamil itu tidak akan merasa nyaman. Sedangkan naik mobil lebih tidak mungkin lagi karena selain tidak punya, ongkosnya-pun pasti akan jauh lebih mahal bukan?
Dengan segala kegalauan dan banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk tetap menaiki kereta di usia kehamilan yang ternyata sudah menginjak 8 minggu. Saya baru mengetahui bahwa saat itu, KAI commuter ternyata menyediakan pin khusus ibu hamil yang bisa digunakan pada seluruh ibu hamil yang telah mendaftar sebelumnya.
Sewaktu saya mencari informasi perihal pin ibu hamil tersebut, saya mengetahui bahwa Stasiun Sudirman melayani pembuatan pin ibu hamil itu. Dengan bermodal hasil USG dan Hari Perkiraan Lahir alias HPL, ibu hamil seperti saya sudah bisa mendapatkan pin berbentuk bulat berwarna merah muda dengan gambar ibu hamil. Saya tidak tahu apakah saat ini masih ada pendaftaran pin ibu hamil tersebut atau tidak, karena saat saya hamil itu adalah di tahun 2016 lalu.
Lalu apa sebenarnya fungsi dari pin ibu hamil tersebut? Walau kesannya terasa sangat sepele, namun nyatanya pin tersebut berdampak besar bagi ibu hamil seperti saya saat itu. Seluruh petugas yang melihat wanita yang mengenakan pin tersebut, langsung sigap mencarikan tempat duduk atau "mengusir" orang-orang yang tidak sesuai yang sedang menduduki kursi prioritas.
Karena bukan rahasia lagi jika kursi prioritas yang sejatinya dikhususkan untuk lansia, ibu membawa balita, dan ibu hamil seperti saya waktu itu kerap diduduki oleh oknum yang tidak berhak menempatinya.
Terkadang saya merasa tak enak hati jika harus "mengusir" oknum-oknum tersebut. Berkat adanya pin ibu hamil, seluruh penumpang dan petugas di dalam KRL menjadi "notice" dan dengan sigap membantu mencarikan tempat duduk untuk saya.
"Permisi, kursi prioritasnya untuk ibu hamil," ungkap petugas yang biasanya cekatan langsung mencarikan tempat duduk untuk bumil seperti saya kala itu. Jujur saja saya merasa sangat-sangat terbantu saat itu. Saya yang hamil merasa tenang dan nyaman duduk di kursi prioritas tanpa harus berdesakan dengan penumpang lainnya. Saya juga tida khawatir lagi dengan kehamilan saya yang saat itu semakin besar.
Hingga sampai usia kehamilan 9 bulan kurang, saya tetap bisa duduk dengan nyaman tanpa harus terlibat drama di dalam KRL.Â
Selain kenyamanan yang didapat saat naik kereta, alasan lain yang tak kalah penting adalah ekonomis alias murah meriah. Sekali perjalanan dari Stasiun Depok ke Stasiun Sudirman cukup mengeluarkan kocek Rp4 ribu saja, sehingga jika saya PP naik KRL ke kantor hanya habis Rp8 ribu saja.
Kebetulan kantor saya tidak jauh dari Stasiun Sudirman, sehingga ongkos yang saya keluarkan per-harinya sangat kecil. Jika diakumulasikan selama satu bulan, maka ongkos yang saya habiskan untuk naik KRL kira-kira 20 hari x 8 ribu= Rp160 ribu. Sungguh amat sangat membantu untuk kaum-kaum gaji UMR macam saya kala itu.
Bandingkan jika saya harus naik sepeda motor, taruhlah dalam satu hari PP Depok-Sudirman membutuhkan 2 liter bensin, sehingga untuk bensin saja per-harinya saya membutuhkan sekitar Rp30 ribu. Belum lagi bayar parkir di daerah Sudirman, yang satu harinya paling murah 5-8 ribu, itupun parkir liar bukan parkir resmi yang tentunya bisa jauh lebih mahal.
Kalau saya menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor, berarti harus mengeluarkan kocek sekitar Rp35 ribu per-hari, maka jika dikalikan sebulan atau sekitar 20 hari kerja berarti harus menyediakan Rp700 ribu. Sungguh perbandingan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan ongkos naik KRL.
Itulah yang menyebabkan saya memilih jasa angkutan KRL. Selain nyaman dan murah, kecepatan juga menjadi hal yang utama, tak perlu macet-macetan dan tak perlu keluar uang bensin.Â
Yuk jangan ragu naik KRL, walau hamilpun tetap terasa nyaman dan yang pasti dijamin irit!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H