Sekitar tahun 1998/1999, saya mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi via dunia maya. di tahun-tahun itu, yang populer adalah yahoogroups. Â Awalnya terkaget-kaget dengan kerasnya diskusi / perbedaan pendapat. Dari soal debat ekonomi, politik dan yang paling hot tentunya adalah agama.Â
Awalnya sempat coba ikut memberikan pendapat tapi kok ya ga nyaman. Ga biasa berdebat sampai sengit-sengit-an. Toh saya belum pernah melihat orang berubah pendiriannya setelah berdebat panjang lebar, padahal dalam beberapa debat (walau tidak semua), ada saja pendapat yang terbukti salah. Bukan perkara gampang memang mengalahkan ego sendiri :)
Tahun-tahun terakhir ini, terutama sejak pilkada DKI tahun 2012, "kebiasaan" perdebatan meruncing lagi. Kali ini dengan spektrum yang lebih luas karena menggunakan kanal-kanal social media yang mulai moncer semenjak berdirinya Facebook tahun 2004 (Mark Zuckerberg - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas) dan Twitter tahun 2006 (Tech in Asia Indonesia - Komunitas Online Startup di Asia ).Â
Perdebatan tidak lagi terbatas pada ruang-ruang grup e-mail yang terbatas anggotanya, tapi pada platform social media yang orang bisa datang dan pergi sesuka hati, follow dan unfollow akun mana yang ia suka, berbincang lintas komunitas melalui hastag, macam-macam. Ramai, hingar bingar.
Tentu itu hanya soal teknis belaka. Yahoogroups, facebook, twitter, apapun itu. Hanya kompor nya. Persoalannya, entitas manusia memang punya yang namanya bahan bakar perdebatan yang tak habis-habisnya : Perbedaan!Â
Kalau orang sudah berbeda, dan diumbar di depan umum, persoalannya berkembang bukan lagi soal benar salah, tapi gengsi personal kalau dipermalukan di ruang publik. Itu persoalan pertama.
Persoalan kedua dan memang intinya, adalah memang ada jenis-jenis perbedaan yang mustahil disatukan. Apalagi kalau bukan ideologi. Saya percaya setiap orang punya ideologi, keyakinan yang sulit berubah. Yang menjadi basis bagi semua pendapat yg ia kemukakan dan ia pertahankan.Â
Yang menjadi jawaban kenapa ada orang yang telihat seperti memiliki sikap yang tidak konsisten untuk berbagai isu yang sebenarnya serupa. Peristiwa A dinilai tidak adil, tapi orang yg sama bisa bersikap ok ok saja utk peristiwa B yang sebenarnya serupa. Semua karena khawatir dukungan publik bagi ide yang dia yakini berkurang.
Padahal itu tidak perlu. Ide memang perlu sejumlah orang untuk mendukungnya agar bisa diimplementsikan, tapi kebenarannya tidak. Kebenaran itu absolut. Ada atau tidak ada pendukung.
Jadi, Solusi agar kita "nyaman" dengan perbedaan yang menajam di Social media adalah:Â
1. Jangan semua hal dibawa ke ruang publik. Banyak yang bisa selesai di kedai-kedai kopi atau suasana-suasana santai nan bersahabat. Hidupkan kembali "hidup normal" ala masa pre-social-media :)