Siswa-siswi itu masuk ke dalam sekolah mereka. Mereka semua duduk di dalam kelas dan belajar hal-hal yang tak berguna. Mereka semua seperti robot atau npc yang tak pernah mau membantah hal-hal yang di katakan pada mereka, yang sesungguhnya, itu semua tak berguna dalam kehidupan mereka. Mereka semua bangga dengan nilai raport yang tinggi dan terpampang jelas di atas kertas raport mereka.
Padahal sebenarnya, nilai-nilai tinggi palsu di dalam raport itu, yang mereka bangga-banggakan itu, ternyata semua hanya ilusi dan kepalsuan belaka yang akan mereka lupakan seiring berjalannya waktu. Siswa-siswi itu sering begadang setiap malam hanya demi mendapatkan nilai-nilai kepalsuan atas hal-hal yang sama sekali tak berguna dalam kehidupan mereka.
Lalu, kemudian merekapun diberikan kisi-kisi soal menjelang ujian tiba. Yang sudah diajarkan oleh guru mereka yang tidak tau mengajar dan tidak punya kompetensi sebagai seorang guru.
Namun sayangnya, ketika ada seorang siswa yang kritis dan berani berkata bahwa itu semua sesungguhnya, tak berguna sama sekali dalam kehidupan maupun karir.
Kompak lah siswa-siswi yang sudah terdoktrin dengan hal-hal yang tak berguna berkata bahwa hal-hal yang tak berguna yang mereka pelajari itu, semuanya, pasti ada gunanya, dan kata mereka tidak ada usaha yang sia-sia.
Padahal mereka semua tidak sadar bahwa semua pelajaran yang mereka pelajari dengan usaha yang setengah mati. Sesungguhnya, tak berguna sama sekali dalam hidup dan mereka semua sudah didesain menjadi orang miskin di masa depan.
Cerita di atas adalah cerita nyata, hasil dari pengalaman saya selama bersekolah sampai sekarang, yang masih menginjak kelas 11 di tahun ini, dan akan naik ke kelas 12. Cerita dari pengalaman nyata dari saya mungkin sudah cukup menggambarkan realitas yang terjadi dalam sistem pendidikan sekolah di Indonesia.
Siswa-siswi belajar setengah mati terhadap hal-hal yang sama sekali tidak ada gunanya. Setelah itu, mereka berjuang mengingat semua itu untuk di pakai berjuang ketika ujian tiba.
Tapi, ketika mereka tak sanggup menjawab semua hal-hal yang tak berguna yang diujikan ketika mereka ujian, mereka pun akhirnya, menyontek kepada google dengan aplikasi tambahan.
Lalu, kemudian apakah hasil dari semua itu, ya pastinya, mereka semua akan lupa terhadap apa yang mereka pelajari, yang sama sekali tidak berguna dalam hidup mereka.
Setelah mereka selesai bersekolah, mereka semua akhirnya, memasuki acara wisuda yang fantastis. Padahal sebenarnya, itu semua penuh dengan kepalsuan. Mereka yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pencapaian prestasi setelah mempelajari hal-hal yang tak berguna.
Lalu, di beri label sebagai siswa-siswi dan mahasiswa berprestasi, yang sebenarnya, itu semua hanyalah sebatas formalitas di atas kertas belaka yang sesungguhnya, tak bisa menggambarkan siapa mereka sebenarnya.
Bagi yang masih sekolah. Saya cuma ingin mengingatkan bahwa pelajaran-pelajaran yang di ajarkan di sekolah. Sesungguhnya, itu semua hampir tidak ada gunanya, sama sekali dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, bagaimana cara untuk tidak terdoktrin dengan pelajaran-pelajaran itu. Ya, cuma satu saja caranya, yaitu dengan mengakali sistem yang rusak ini. Sebagai seorang siswa atau mahasiswa, kita harus mengakali sistem ini. Karena, tak mungkin juga kita berhenti dari sekolah. Karena masih ada yang penting dari sekolah yaitu belajar untuk bersosialisasi.
Jadi, kita harus mencari sendiri pelajaran yang penting dan punya relevansi dalam kehidupan kita. Contohnya, seperti literasi finansial dan logika yang sangat dibutuhkan. Karena mengingat bahwa sekarang negara kita sedang krisis orang yang tidak bisa mengatur keuangan mereka sendiri dan tidak bisa berpikir mandiri.
Akali sistem ini dengan mencari sendiri pelajaran-pelajaran yang kamu sukai dan berguna dalam hidup mu. Jangan khawatir dengan nilai raport kamu, semua itu tidak bisa menggambarkan siapa dirimu yang sebenarnya.
Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa,"Selama kita punya otak, kita masih bisa belajar".
Saya setuju dengan kalimat dari Rocky Gerung, bahwa selama ada otak di dalam kepala kita. Kita masih bisa belajar sendiri. Jadi, pertanyaannya sekarang apakah kita mau terjebak dan mengikuti sistem atau kurikulum pendidikan yang rusak ini atau kita menciptakan sendiri dan mengakali sistem kurikulum yang rusak dengan akal kita sendiri.
Semuanya, pada akhirnya, tergantung pada diri kita sendiri. Apakah kita mau hidup seperti robot yang cuma bisa manggut-manggut dan patuh terhadap apa yang dikatakan pada mereka atau ingin menjadi manusia yang independen dan merdeka dalam hidup yang sementara ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI