Ketika Kekuasaan Palsu Membungkam Kejujuran
Fenomena senioritas yang merugikan terus menjadi masalah di banyak lingkungan, mulai dari institusi pendidikan hingga tempat kerja. Salah satu yang paling mencolok adalah ketika seorang senior bersikap menindas atau merendahkan junior saat berkumpul dengan para senior lainnya, namun justru meminta bantuan atau bahkan "mengemis" ke junior di balik layar.Â
Sikap ini tidak hanya memunculkan ketidakadilan, tetapi juga memperlihatkan ketidakseimbangan antara kekuasaan yang dipamerkan dan kebutuhan akan kolaborasi yang seharusnya terjalin.
Kondisi ini seringkali diperkuat oleh budaya senioritas toxic, di mana senior merasa harus selalu menunjukkan dominasinya di depan junior, terutama ketika ada senior lain yang menyaksikan.Â
Dalam konteks ini, seorang senior lebih memilih untuk mempertahankan citra "kuasa" ketimbang membangun hubungan yang sehat dengan junior. Namun, ironisnya, saat senior tersebut membutuhkan bantuan di balik layar, mereka tidak segan-segan mengandalkan junior yang sebelumnya ditindasnya.
Ada beberapa alasan mengapa fenomena ini terjadi. Salah satunya adalah rasa insecure yang mendalam pada diri si senior. Mereka merasa perlu menunjukkan kekuasaan agar terlihat kompeten dan superior di mata para senior lainnya. Mereka takut kehilangan pengaruh atau dianggap lemah jika terlihat "setara" dengan junior di depan umum. Akibatnya, mereka menindas junior untuk menutupi ketidakmampuan atau ketidakpercayaan diri mereka sendiri.
Namun, ketika lampu sorot hilang dan tidak ada senior lain yang menyaksikan, mereka menunjukkan sisi yang lebih rentan dan membutuhkan junior. Di sini, kekuasaan palsu mereka runtuh, dan mereka menggantungkan diri pada keahlian atau kerja keras junior yang sebelumnya diremehkan. Ironi ini seringkali menciptakan dinamika yang membingungkan dan tidak adil bagi junior.
Di sisi lain, junior yang menyadari hal ini sering merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Mereka dihadapkan pada dilema antara harus memenuhi permintaan senior, meskipun merasa tidak dihargai, atau menolak dan mungkin menghadapi konsekuensi negatif. Junior dalam posisi ini seringkali merasa bahwa suara mereka tidak didengar, dan mereka terpaksa tunduk pada permainan kekuasaan yang dibuat oleh senior.
Budaya ini sangat merugikan, karena menghalangi terbangunnya iklim kerja atau belajar yang sehat. Junior yang merasa tertindas akan sulit mengembangkan potensinya secara maksimal, karena mereka takut melakukan kesalahan atau menghadapi balasan dari senior.Â
Selain itu, relasi yang didasarkan pada kekuasaan semu ini juga menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam di antara kedua belah pihak.