Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Puncak Kerugian, Ketika Merasa Benar, Padahal Keliru

24 Oktober 2024   15:05 Diperbarui: 25 Oktober 2024   04:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: seputar forex

Manusia dalam perjalanan hidupnya tidak bisa terlepas dari kesalahan dan penyesalan. Hampir setiap individu, pada satu titik, pernah merasa merugi. Baik itu akibat dari keputusan-keputusan yang diambil dengan penuh pertimbangan maupun yang diambil tanpa banyak berpikir. 

Kerugian, dalam perspektif sehari-hari, seringkali berkaitan dengan materi atau perasaan, namun ada dimensi lain dari kerugian yang lebih dalam, yaitu kerugian akibat kesalahan persepsi diri. 

Sebagaimana disampaikan oleh Pakde dalam “Percikan Diri” pada 24 Oktober 2024, “Merasa benar padahal keliru, inilah dia puncak kerugian itu.”

Fenomena merasa benar saat sebenarnya keliru sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam hubungan rumah tangga, suami dan istri kerap kali saling menyalahkan satu sama lain saat terjadi konflik. 

Mereka sama-sama merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, sementara pasanganlah yang bersalah. Akibatnya, tanpa disadari, hubungan semakin memburuk. Mereka merasa telah rugi karena menikah dengan pasangan yang mereka anggap salah, padahal kesalahan terbesar mungkin terletak pada persepsi diri mereka sendiri.

Begitu pula dengan orang-orang yang telah berbuat kesalahan besar dalam hidup, seperti seorang penjahat yang akhirnya menyesali masa lalunya setelah berada di penjara. 

Mereka merasa rugi tidak bertobat lebih awal, sehingga hidupnya berujung pada penderitaan. Namun, apakah kerugian terbesar hanya terbatas pada masa lalu yang kelam? 

Menurut pemahaman yang lebih mendalam, kerugian sejati terletak pada ketidakmampuan seseorang untuk mengenali kesalahannya dan terus bertahan dalam keyakinan yang salah.

Keangkuhan diri sering kali menjadi penghalang untuk melakukan introspeksi. Ketika seseorang meyakini bahwa dirinya tidak pernah salah, maka ia menutup pintu untuk belajar dan memperbaiki diri. Pada saat inilah kerugian terbesar terjadi. 

Bukan hanya karena keputusan yang salah, tetapi karena ketidakmampuan untuk mengakui bahwa keputusan tersebut memang salah. Perasaan benar yang keliru inilah yang pada akhirnya dapat menghancurkan seseorang.

Dalam lingkup yang lebih luas, hal ini juga berlaku dalam konteks sosial dan politik. Pemimpin yang merasa bahwa kebijakannya sudah paling tepat, padahal berdampak buruk pada masyarakat, akan sulit menerima kritik dan masukan. 

Mereka merasa berada di jalur yang benar, sementara rakyat yang menderita akibat kebijakan tersebut menjadi pihak yang benar-benar rugi. Namun, kerugian terbesar tetap berada pada sang pemimpin itu sendiri, karena keangkuhannya menutup kemungkinan untuk berbuat lebih baik.

Adapun kerugian akibat merasa benar padahal keliru ini juga sering kali tidak terasa dalam jangka pendek. Banyak dari kita yang baru menyadari kesalahan setelah waktu berlalu, setelah kesempatan untuk memperbaiki diri sudah hilang. 

Di sinilah letak tragis dari “puncak kerugian” yang disebutkan Pakde. Ketika kesempatan untuk bertobat atau memperbaiki diri telah berlalu, barulah kesadaran itu muncul, dan pada saat itu, kerugian sudah tidak terhindarkan.

Jika kita telisik lebih jauh, akar dari puncak kerugian ini adalah ego. Ego yang tidak mau menerima kekeliruan, yang terus meyakini bahwa semua tindakan dan keputusan sudah benar. Padahal, kerendahan hati untuk mengakui kesalahan adalah langkah awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

 Orang yang bijak bukanlah orang yang tidak pernah salah, tetapi orang yang selalu siap mengakui kesalahannya dan belajar dari hal tersebut.

Dengan demikian, solusi untuk menghindari puncak kerugian adalah dengan senantiasa melakukan introspeksi diri. Menyadari bahwa kesalahan adalah bagian dari proses hidup, dan tidak ada manusia yang sempurna. 

Kesalahan tidak harus dihindari, melainkan dihadapi dan dijadikan pembelajaran. Jika kita dapat melepaskan ego dan membuka diri untuk kritik serta introspeksi, maka kita bisa menghindari kerugian yang lebih besar di masa depan.

Akhirnya, pesan yang disampaikan oleh Pakde ini sepatutnya menjadi refleksi bagi kita semua. Bahwa merasa benar bukanlah jaminan kebenaran itu sendiri. Selalu ada ruang untuk belajar, memperbaiki, dan berbenah diri agar kita tidak terjebak dalam puncak kerugian akibat merasa benar padahal sebenarnya keliru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun