Di sebuah kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hiduplah seorang pemuda bernama Sarno. Ia terkenal bukan karena kepintaran atau kekayaannya, melainkan karena sifatnya yang selalu mencari segala sesuatu secara gratis. "Mental gratisan," begitu orang-orang menyebutnya. Setiap kali ada acara kampung yang menyediakan makanan, Sarno selalu hadir tepat waktu. Bukan untuk membantu, melainkan untuk memastikan ia mendapatkan bagian lebih banyak dari yang lain.
Suatu hari, kampung tersebut mengadakan lomba memasak untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan. Sarno yang terkenal suka gratisan, dengan antusias mendaftar, bukan karena ingin menang, tetapi karena setiap peserta akan mendapatkan bahan-bahan masak gratis dari panitia. "Lumayan, bisa buat makan seminggu," pikir Sarno sambil tersenyum lebar.
Saat hari lomba tiba, Sarno datang paling awal. Ia sudah membayangkan makanan enak yang bisa ia buat dari bahan-bahan gratis yang diberikan. Namun, ada satu hal yang Sarno tidak perhitungkan---ia tidak bisa memasak sama sekali. Ia hanya terbiasa memakan makanan, bukan membuatnya. Dengan wajah kebingungan, ia mulai mengaduk-aduk bahan yang ada tanpa rencana. Sementara peserta lain dengan sigap memasak, Sarno sibuk bertanya kepada panitia dan peserta lain, berharap mereka mau membantunya.
"Bang, gimana caranya masak daging ini ya?" tanya Sarno kepada salah satu panitia.
Panitia hanya tersenyum kecil dan berkata, "Kalau mau menang, masak sendiri, Mas Sarno. Ini kan lomba memasak, bukan lomba bertanya." Sarno terdiam, bingung harus berbuat apa. Di sudut lain, peserta lain sudah mulai mengeluarkan aroma masakan yang lezat, sementara kuali Sarno masih kosong, tanpa aroma sedap yang keluar.
Setelah beberapa saat, Sarno mulai panik. Waktu lomba hampir habis, dan ia belum menyelesaikan apa pun. Dalam keadaan terdesak, Sarno kembali ke kebiasaannya. Ia memutuskan untuk meminta bantuan peserta lain. Namun, kali ini, tak ada yang mau membantunya. Semua peserta sibuk dengan masakan mereka masing-masing, berlomba-lomba menampilkan yang terbaik.
Ketika waktu habis, semua peserta diminta untuk menyajikan masakan mereka. Sarno hanya bisa menunduk malu. Di mejanya hanya ada panci kosong dan beberapa bahan yang belum disentuh. Panitia mendekatinya dan dengan senyum simpul bertanya, "Mas Sarno, apa yang ingin disajikan?"
Dengan nada rendah, Sarno menjawab, "Sepertinya kali ini saya gagal."
Lomba pun berakhir, dan Sarno pulang dengan tangan hampa. Dari kejadian itu, ia belajar satu hal penting. Tidak semua hal bisa didapat secara gratis, terutama keterampilan dan usaha. Mental gratisan yang selama ini ia banggakan ternyata hanya membuatnya tertinggal dari yang lain. Sejak saat itu, Sarno bertekad untuk berubah. Ia mulai belajar memasak, bukan untuk lomba, tetapi untuk dirinya sendiri, agar bisa mandiri tanpa harus selalu bergantung pada pemberian orang lain.
Mental gratisan yang dulu menjadi identitasnya perlahan hilang, digantikan oleh semangat kerja keras. Kampung kecil itu pun menjadi saksi perubahan seorang pemuda yang akhirnya menyadari bahwa tak ada yang benar-benar gratis dalam hidup, kecuali pelajaran dari kegagalan.