Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog di Bawah Rembulan

10 Oktober 2024   19:58 Diperbarui: 10 Oktober 2024   20:24 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah sinar bulan yang temaram, angin malam bertiup lembut, membawa suara-suara dari masa lalu. Di sebuah tempat yang tenang, aku duduk sendiri, meresapi ketidaktenangan yang menghantui hatiku. Rasa resah semakin mencekam, hingga dalam kesunyian itu, aku membayangkan sosok yang selalu menjadi penuntun batinku, KH Zainuddin MZ.

Kyai, hati saya resah,” ucapku perlahan, seolah berbicara langsung kepada beliau. Suara itu terpantul dari dalam diriku, namun terasa nyata di telingaku. Seandainya Kyai hadir di sini, mungkin aku akan mendapatkan jawabannya.

Kyai Zainuddin muncul dalam imajinasiku dengan senyuman yang menenangkan. “Kenapa kau gelisah, nak?” tanya beliau dengan kelembutan yang hanya bisa dimiliki oleh orang yang penuh dengan hikmah.

Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab,” jawabku dengan nada berat. Fitnah itu, yang seolah-olah datang tanpa henti, membuat langkahku tertahan. Aku merasa terperangkap dalam pusaran yang tak berujung.

Kyai menatapku dengan mata teduh. “Fitnah adalah bagian dari ujian hidup. Kau harus ingat bahwa kebesaran jiwa seseorang tidak diukur dari pujian orang lain, tapi dari bagaimana ia menghadapi fitnah dengan sabar dan ikhlas.

Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang beliau ucapkan. “Tapi, Kyai, fitnah ini menyakiti hati saya. Rasanya sulit untuk memaafkan dan melupakan.

Beliau tersenyum. “Memang tidak mudah. Tapi ingatlah, setiap kesakitan akan mendewasakanmu. Maafkan mereka yang memfitnahmu, bukan karena mereka layak dimaafkan, tapi karena hatimu layak untuk damai. Jangan biarkan kebencian orang lain merusak ketenteraman jiwamu.

Aku menunduk, teringat betapa sulitnya menjaga hati tetap bersih di tengah badai prasangka. “Lalu, apa yang harus saya lakukan, Kyai?

Berserah dirilah pada Allah. Lakukan yang terbaik, dan biarkan Dia yang mengurus sisanya. Jangan kau habiskan waktumu memikirkan mereka yang menfitnahmu. Fokuslah pada apa yang bisa kau kendalikan: dirimu sendiri.

Kata-kata itu menusuk relung hatiku. Di tengah imajinasi ini, aku merasakan kehadiran beliau yang begitu dekat. Meski tak nyata, dialog ini seakan benar-benar terjadi. Aku pun sadar, bahwa ketenangan bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita sendiri.

Dengan penuh syukur, aku tersenyum. Fitnah mungkin belum akan berhenti, tapi hatiku kini lebih kuat. "Terima kasih, Kyai," gumamku pelan. Aku tahu, meski hanya imaji, nasihat itu akan selalu hidup dalam batinku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun