Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bicara dengan Hati di Hadapan KH. Hasyim Asy'ari

10 Oktober 2024   17:12 Diperbarui: 10 Oktober 2024   17:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku duduk di sudut mushola tua, tempat yang selalu kutuju ketika hatiku gundah. Di tempat ini, di bawah lampu minyak yang remang, aku merasa dekat dengan beliau, KH. Hasyim Asy'ari. Sosok yang meski tak pernah kutemui secara langsung, ajaran-ajarannya menjadi kompas bagi batinku. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, resah memenuhi hati. Aku memejamkan mata, berharap bisikan dari alam bisa membawa ketenangan. Namun yang datang adalah bayangan wajah Mbah Hasyim, lengkap dengan senyum hangatnya.

"Mbah, hati saya resah," ucapku dalam hati, seakan-akan sedang berdialog dengan beliau. “Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab.” Rasanya sulit menahan amarah, sulit untuk bersabar ketika kebohongan terus berdatangan tanpa henti.

Dalam keheningan, suara Mbah Hasyim seolah menggema dalam pikiranku. “Nak, fitnah itu ibarat debu yang ditiup angin. Kita tidak bisa mengendalikannya, tapi kita bisa memilih bagaimana menanggapinya,” seolah beliau sedang bicara langsung kepadaku. Suaranya lembut, namun penuh hikmah, membawa kedamaian pada pikiran yang kalut.

Aku menarik napas panjang, mencoba mencerna. "Tapi, Mbah," lanjutku, “fitnah itu menyakitkan. Bagaimana bisa saya diam ketika kehormatan saya dipertaruhkan?

Sabar, nak. Kesabaran bukan berarti diam tanpa tindakan. Kesabaran adalah kekuatan dalam menahan diri agar tidak terjerumus pada balas dendam atau kemarahan. Biarkan fitnah itu lewat, seperti angin yang berlalu, dan perbaiki niat serta tindakanmu.

Aku terdiam sejenak. Rasanya berat menjalani nasihat itu. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah sabar bisa benar-benar mengatasi segala hal? Bagaimana jika fitnah itu semakin menjadi-jadi dan merusak segalanya?

Mbah Hasyim seolah membaca kegelisahanku. “Fitnah, jika dilawan dengan amarah, hanya akan membesar. Namun jika dihadapi dengan doa dan kebijaksanaan, lama kelamaan ia akan mati dengan sendirinya. Percayalah, Allah akan membalas setiap kejahatan, dengan cara yang lebih adil dari yang bisa kau bayangkan.

Kata-kata beliau menyentuh hati. Meskipun rasanya berat, aku tahu apa yang beliau katakan benar. Dunia ini memang seringkali tidak adil di mata manusia, namun keadilan sejati selalu ada di tangan Yang Maha Kuasa.

Mbah, bagaimana jika saya tidak sanggup menahan semuanya? Bagaimana jika saya jatuh dalam kebencian?” tanyaku lagi, masih belum sepenuhnya yakin dengan jalan sabar yang ditawarkan.

Beliau tersenyum, membayangi dalam pikiranku. “Nak, setiap hati yang beriman pasti diuji. Ujian itu akan menguatkan, bukan melemahkan, jika kau jalani dengan ikhlas. Jangan takut jatuh, karena setiap jatuh adalah kesempatan untuk bangkit lebih kuat.

Dialog imajiner itu berakhir dalam keheningan malam. Perlahan-lahan, hatiku terasa lebih ringan. Aku tahu, meski jalannya sulit, nasihat Mbah Hasyim adalah kunci menuju ketenteraman yang kucari. Fitnah hanyalah ujian, dan aku harus memilih bagaimana cara menghadapinya—dengan doa, kesabaran, dan hati yang selalu terjaga dalam kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun