Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelipur Resah di Kaki Langgar

11 Oktober 2024   05:00 Diperbarui: 11 Oktober 2024   07:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, di bawah rindang pohon beringin yang menaungi langgar tua, aku duduk termenung. Hati ini resah, pikiran kalut. Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan digoncang sedemikian rupa oleh fitnah yang kejam dan tak beralasan. Rasanya semua yang kukerjakan sia-sia. Aku memejamkan mata, mencoba merasakan ketenangan dari suara angin yang lembut mengusap wajahku. Namun, semua tetap terasa buntu. Tiba-tiba, dalam keheningan itu, aku mendengar suara yang tak asing. "Nak, kenapa engkau resah?" Suara lembut penuh wibawa itu menyentuh jiwa. Saat kubuka mata, di hadapanku duduk Syaikhona Kholil Bangkalan, sosok ulama besar yang kuhormati.

"Mbah," jawabku dengan nada penuh beban, "hati saya resah. Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab. Saya telah difitnah melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan. Seakan-akan semua kebaikan yang selama ini saya upayakan tak lagi berarti."

Syaikhona tersenyum bijak, pandangan matanya menenangkan. "Nak," katanya, "fitnah itu bagaikan angin kencang yang menerbangkan dedaunan. Kadang ia datang tanpa peringatan, menghancurkan kedamaian kita. Namun ingatlah, angin itu hanya sementara. Ia tidak bisa merobohkan pohon yang akarnya kuat."

Aku menunduk. "Tetapi, bagaimana caranya saya bisa tetap kuat, Mbah? Rasanya setiap hari saya dihantam gelombang kesedihan. Orang-orang mulai percaya pada kebohongan itu. Nama saya tercemar. Saya merasa terasing, bahkan di antara orang-orang yang dulu percaya kepada saya."

Syaikhona memegang tanganku dengan lembut. "Bukan namamu yang mereka serang, Nak. Mereka menyerang imanmu. Dan iman itu letaknya di dalam hati, bukan di lidah orang lain. Jangan terlalu bergantung pada pujian ataupun cercaan manusia, karena keduanya hanyalah ujian bagi jiwamu. Apa yang lebih penting adalah bagaimana engkau menjaga hubunganmu dengan Allah."

Kata-katanya menusuk ke relung hati. Aku menyadari bahwa aku terlalu terpengaruh oleh opini orang lain, seolah-olah itu adalah cermin dari diriku. "Mbah, saya merasa tidak adil jika saya harus menanggung semua ini. Saya hanya ingin hidup tenang, bekerja dengan ikhlas, tanpa harus diusik oleh kebohongan."

Syaikhona tertawa lembut. "Anakku, dunia ini bukan tempat untuk mencari keadilan yang sempurna. Keadilan yang sejati itu milik Allah, bukan manusia. Selama engkau hidup dengan niat baik, bekerja dengan tulus, Allah tahu apa yang ada di hatimu. Itu sudah cukup. Tidak perlu menuntut pengakuan dari orang lain. Biarkan saja mereka berkata apa yang mereka mau."

Aku menarik napas dalam-dalam. Perlahan-lahan, beban di pundakku terasa berkurang. Kata-kata Syaikhona membuatku menyadari bahwa kedamaian yang kucari bukan berasal dari luar, tetapi dari dalam diriku sendiri. "Mbah, bagaimana caranya saya bisa menghadapi semua ini dengan hati yang ikhlas?"

"Berserah dirilah kepada Allah, Nak," jawabnya. "Fitnah itu akan berlalu, seperti awan hitam yang tertiup angin. Yang penting adalah bagaimana engkau menjaga kebersihan hati. Jangan biarkan kebencian mereka menodai jiwamu. Sebaliknya, balaslah dengan doa dan kebaikan."

Dalam keheningan yang menyelimuti kami, aku merasa lebih tenang. Sosok Syaikhona mulai mengabur, seolah larut dalam cahaya pagi. Namun, kata-katanya terus terngiang dalam hatiku, menjadi pelipur resah di tengah badai fitnah yang menerjang. Aku tahu, kini aku telah menemukan ketenangan yang kucari---di dalam diriku, bersama Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun