Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Resah di Hadapan sang Proklamator

11 Oktober 2024   06:02 Diperbarui: 11 Oktober 2024   06:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku duduk di ruang tamu rumah tua yang penuh sejarah. Di dinding, terpajang foto Bung Karno sedang berpidato dengan sorot mata penuh semangat. Malam itu, entah kenapa, hatiku terasa begitu resah. Fitnah demi fitnah menghantamku dari berbagai arah, seperti badai yang tak kunjung reda. Dalam keheningan, tiba-tiba, seolah dari dunia lain, terdengar suara yang kukenal, lembut tapi penuh wibawa.

"Bung, hati saya resah," ucapku lirih.

Sosok Bung Karno muncul, seolah keluar dari bingkai foto di dinding. Ia menatapku dengan senyum bijaknya, namun ada ketegasan di matanya. "Apa yang membuatmu resah, anak muda?" tanyanya. Suaranya membawa kehangatan sekaligus kekuatan, seperti suara yang telah menggerakkan bangsa ini menuju kemerdekaan.

"Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab," jawabku. Suaraku bergetar, tapi aku tahu bahwa di hadapannya, aku harus jujur. Fitnah yang tersebar tentangku semakin membuat hidup ini penuh dengan kebohongan, dan itu menggerogoti ketenangan batinku.

Bung Karno terdiam sejenak, memandang jauh ke depan seakan menembus waktu. "Fitnah, ya... itu bukan hal baru. Aku pun telah mengalaminya, dihujani tuduhan yang tak beralasan. Tapi, apa yang membuatmu terganggu? Fitnah hanya angin lalu jika kau tahu kebenarannya."

"Tapi Bung," lanjutku, "bagaimana bisa aku bertahan? Seakan semua orang mulai mempercayai kebohongan itu, meski aku tahu aku tidak bersalah." Air mata hampir jatuh, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin tampak lemah di hadapan Bung Karno.

Ia tertawa kecil, suara tawanya penuh keyakinan. "Kau terlalu sibuk memikirkan apa yang dikatakan orang lain, Nak. Bangunlah dari resahmu. Ingatlah, bukan apa yang orang katakan tentangmu yang penting, tetapi apa yang kau lakukan untuk bangsa ini. Itulah yang akan dikenang."

"Tapi Bung, bagaimana cara melawan semua fitnah ini?" tanyaku lagi, masih kebingungan. Aku tidak yakin apa yang harus dilakukan dalam menghadapi gelombang tuduhan yang terus datang.

Bung Karno menatapku dalam-dalam. "Dengan karya, anak muda. Lawan fitnah dengan tindakan. Jika kau fokus pada karya-karyamu, maka kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Orang-orang yang memfitnahmu akan kelelahan, sementara kau akan terus maju dengan semangat."

Kata-katanya menggetarkan jiwa. Aku mengangguk pelan, mulai merasakan ketenangan yang sebelumnya hilang. Fitnah itu hanyalah bayangan kelam yang bisa kuhancurkan dengan cahaya tindakanku.

"Terima kasih, Bung," bisikku. Bung Karno tersenyum lagi, lalu menghilang ke dalam bayang-bayang. Aku bangkit dari kursiku, dengan tekad baru, siap menghadapi dunia dan fitnah yang ada. Aku tahu, aku tak bisa dihancurkan oleh kata-kata dusta selama aku terus berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun