Jenderal Soedirman.
Aku menatap langit malam di sebuah bukit kecil, terpencil dari hiruk-pikuk kota. Suara gemerisik daun menemani kesunyian, hingga tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Aku berbalik, dan di sana berdiri seorang pria dengan seragam militer lengkap, wajahnya tegas namun teduh. Ia menatapku dengan senyum penuh wibawa. Aku terhenyak. Itu dia---"Jenderal?" tanyaku terbata-bata, mencoba memastikan apakah aku sedang bermimpi. Dia mengangguk perlahan, lalu duduk di sampingku tanpa bicara. Rasanya tak mungkin, namun kehadirannya begitu nyata.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya lembut. Suaranya penuh ketegasan, namun sarat kebijaksanaan.
Aku menarik napas panjang, mencoba merangkai kata. "Jenderal, saya ingin menjadi penulis terkenal. Tapi saya bingung bagaimana memulainya. Apa yang harus saya lakukan?"
Jenderal Soedirman menatap jauh ke depan, seolah-olah melihat masa depan yang belum terungkap. "Menjadi terkenal bukanlah tujuan utama, Nak. Yang penting adalah apa yang ingin kau sampaikan kepada dunia. Apa yang ingin kau tinggalkan sebagai warisan."
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. "Tapi Jenderal, saya ingin orang-orang membaca tulisan saya, agar saya dikenal dan dihargai."
Dia tersenyum tipis, seakan memahami kegelisahanku. "Ketenaran datang dan pergi. Jika hanya itu yang kau kejar, kau mungkin akan kecewa. Tapi jika kau menulis dengan hati, untuk menginspirasi dan memberi manfaat, nama besar itu akan datang dengan sendirinya---tanpa kau mengejarnya."
Aku merenungi nasihatnya. Benar, banyak yang hanya berfokus pada ketenaran, bukan pada dampak dari tulisan mereka. "Lalu, bagaimana caranya, Jenderal? Bagaimana saya bisa menulis dari hati?"
"Kau harus mulai dari diri sendiri, dari apa yang kau alami dan rasakan. Seperti saat aku memimpin perang, aku tak pernah berpikir tentang diriku sendiri. Aku berjuang untuk rakyat, untuk kemerdekaan. Begitu pula dengan menulis, kau harus berjuang menyampaikan kebenaran dan harapan," jelasnya.
Aku tersentak. "Menulis seperti berperang?"
Dia mengangguk. "Ya, perang melawan keputusasaan, ketidaktahuan, dan kebencian. Tulisanmu bisa menjadi senjata, jika kau tahu bagaimana menggunakannya dengan bijak."
Aku tersenyum, merasa semangatku kembali membara. Percakapan ini bukan sekedar dialog biasa---ini adalah pelajaran hidup dari seorang pahlawan. Mungkin aku takkan pernah benar-benar terkenal, tapi aku akan menulis dengan semangat yang sama seperti Jenderal Soedirman berjuang untuk kemerdekaan bangsa.
Jenderal berdiri, lalu menepuk pundakku. "Ingat, Nak, penulis yang baik adalah mereka yang menulis untuk masa depan, bukan untuk dikenang hari ini." Setelah berkata begitu, dia menghilang ke dalam malam, meninggalkanku dengan pikiran yang penuh inspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H