beliau adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.
Di suatu sore yang tenang, aku duduk di beranda rumahku, di antara tumpukan buku yang berserakan. Di tengah lamunan, tiba-tiba saja, sosok tua berjubah putih dengan rambut perak muncul di hadapanku. Wajahnya penuh wibawa, namun tersirat kelembutan dalam setiap garis senyumnya. Aku mengenal sosok itu dari sejarah---"Anak muda, apa yang kau risaukan?" tanyanya dengan suara lembut namun tegas.
Dengan sedikit terkejut, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Ki Hajar," kataku pelan, "aku ingin menjadi penulis terkenal, tetapi jalan menuju impian itu tampak begitu sulit dan penuh tantangan."
Beliau tersenyum tipis, matanya menatapku dalam-dalam seolah menembus pikiranku. "Terkenal? Apakah itu tujuan utamamu dalam menulis?" tanya beliau. Aku terdiam, merenung sejenak. Di kepalaku, ada rasa ragu yang mulai muncul. Apakah motivasiku benar-benar murni?
"Apa yang kau ingin sampaikan lewat tulisanmu?" lanjut Ki Hajar. "Menulis bukan hanya soal menjadi terkenal. Itu adalah soal menyuarakan hati, menyampaikan kebenaran, dan mendidik sesama. Apakah kau ingin sekadar dikenang, atau memberi arti bagi hidup orang lain?"
Kata-kata beliau menusuk relung hatiku. Aku mulai sadar bahwa mungkin selama ini aku terlalu terfokus pada ambisi pribadi, lupa bahwa menulis adalah sarana untuk menyentuh jiwa orang lain. "Aku ingin membuat perubahan," jawabku dengan suara bergetar. "Aku ingin agar kata-kataku bisa membuka mata orang lain, memberi inspirasi."
"Bagus," ujar Ki Hajar sambil mengangguk. "Menulis dengan niat yang benar adalah langkah awal yang penting. Ingatlah selalu bahwa menulis adalah bentuk tanggung jawab. Tanggung jawab kepada masyarakat dan kepada dirimu sendiri. Jika niatmu tulus, ketenaran akan datang dengan sendirinya, tetapi bukan itu yang seharusnya menjadi tujuan."
Aku terdiam mendengar wejangan beliau. Di benakku, kata-kata itu terus berputar, memberikan perspektif baru tentang cita-citaku. "Tapi bagaimana jika aku gagal?" tanyaku ragu-ragu. "Bagaimana jika tulisanku tidak dibaca orang?"
Ki Hajar tersenyum hangat. "Kegagalan adalah bagian dari proses belajar, anak muda. Seperti pendidikan, menulis adalah sebuah perjalanan panjang. Jangan takut akan kegagalan. Itu hanya sebatas batu loncatan menuju sukses. Jangan menulis untuk pujian; menulislah untuk memahami dirimu sendiri dan dunia di sekitarmu."
Percakapan itu berakhir dengan beliau menghilang seiring senja yang mulai memudar. Namun, pesan yang beliau sampaikan terpatri dalam jiwaku. Aku kini paham bahwa menulis bukanlah tentang ketenaran, melainkan tentang menjadi penyalur kebenaran dan kebijaksanaan. Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa langkahku sebagai penulis baru saja dimulai---dan kali ini, dengan hati yang lebih murni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H