Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Meja Kopi bersama Bung Hatta

10 Oktober 2024   02:05 Diperbarui: 10 Oktober 2024   02:33 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Arsip Nasional RI

Pada suatu malam yang sunyi, di sudut sebuah kafe kecil, aku duduk termenung di depan secangkir kopi hitam yang hampir dingin. Pikiran berlarian di kepala, seolah-olah menggapai mimpi yang entah kapan akan terwujud. Aku ingin menjadi penulis terkenal, seseorang yang dikenang melalui kata-kata. Tiba-tiba, suara tenang dan bijaksana memecah keheningan, "Apa yang kau pikirkan, Nak?"

Aku menoleh, dan betapa terkejutnya aku melihat sosok seorang pria paruh baya dengan wajah teduh dan kacamata bulat yang khas. "Bung Hatta?" gumamku tak percaya.

Dia tersenyum ramah, seolah mengenaliku sejak lama. "Jangan terkejut. Anggap saja ini dialog imajiner. Bukankah kau ingin menjadi seorang penulis?" tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Aku mengangguk pelan, lalu dengan terbata aku menjawab, "Ya, Bung. Saya ingin dikenal melalui tulisan. Menjadi penulis besar yang karyanya dibaca banyak orang."

Bung Hatta tersenyum lebih lebar. "Menjadi penulis bukanlah soal dikenal, Nak. Itu soal memberikan sesuatu yang berarti bagi orang lain. Ketika aku dan Bung Karno menulis, itu bukan untuk ketenaran, melainkan untuk kebebasan dan perubahan."

Kata-katanya menghentakku. "Tapi, saya ingin tulisan saya menginspirasi banyak orang," lanjutku, merasa sedikit ragu. "Bagaimana caranya agar tulisan saya punya makna?"

Bung Hatta menatapku dengan mata penuh kedalaman. "Menulis dengan hati, Nak. Tulisan yang hebat lahir dari pengalaman, dari perjuangan yang nyata. Kau ingin menjadi terkenal, tetapi apakah kau siap menjalani prosesnya? Kadang, ketenaran itu datang setelah pengorbanan yang panjang."

Aku terdiam, memikirkan perjuangan yang mungkin harus kulewati. "Lalu, apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyaku akhirnya.

Bung Hatta menghirup kopinya, lalu berkata dengan bijak, "Mulailah menulis. Jangan takut tidak dikenal. Jika tulismu lahir dari hati yang tulus, cepat atau lambat, dunia akan menemukanmu."

Saat aku mencoba meresapi nasihatnya, suara di kafe tiba-tiba ramai, dan Bung Hatta perlahan menghilang dari pandanganku. Tapi pesan dan semangatnya tetap terpatri di hatiku. Sejak saat itu, aku berjanji menulis bukan lagi demi ketenaran semata, melainkan demi perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun