Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan dengan Chairil Anwar di Bawah Langit Malam

9 Oktober 2024   13:50 Diperbarui: 9 Oktober 2024   13:58 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, aku duduk di beranda rumah, memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Hening sekali, hanya terdengar suara desiran angin yang lembut menyapu dedaunan. Dalam pikiran, aku sedang merangkai kata-kata, berusaha keras mencari ilham untuk menulis. Tiba-tiba, seorang sosok berdiri di hadapanku, begitu familiar dengan wajah yang tak asing lagi. "Chairil Anwar?" tanyaku terperanjat.

Ia tersenyum tipis, seolah mengerti kebingunganku. "Ya, aku," jawabnya dengan suara berat yang tenang. "Kenapa kau tampak gelisah?"

Aku menghela napas. "Aku ingin menjadi penulis terkenal, seperti engkau. Tapi, kadang aku merasa jalan itu begitu sulit, penuh rintangan, dan seolah mimpi itu tak terjangkau."

Chairil menatapku dalam-dalam, matanya seakan menyelami setiap kekhawatiranku. "Kau tahu, menjadi terkenal itu bukan tujuan akhir. Yang terpenting adalah apa yang kau tulis dan apa yang ingin kau sampaikan. Bagiku, setiap kata adalah nyawa, setiap bait adalah perjuangan. Lalu, bagaimana denganmu?"

Aku terdiam, mencerna kata-katanya. "Aku ingin menulis sesuatu yang abadi, sesuatu yang bisa menginspirasi orang lain. Tapi, kadang aku takut, apakah tulisanku cukup berharga untuk diingat?"

"Takut itu wajar," jawabnya cepat. "Aku pun pernah merasakannya. Tapi ingatlah, yang penting adalah keberanian untuk menulis. Keberanian untuk menyuarakan apa yang ada di dalam dirimu, meski dunia mungkin tak selalu mendengar. Apakah kau berani?"

Aku merenung sejenak. "Mungkin aku belum cukup berani. Kadang, kritik dan penolakan membuatku ragu. Apa yang harus aku lakukan?"

Chairil tersenyum lebar kali ini. "Kritik itu angin, penolakan itu hujan. Biarkan mereka berlalu, karena langit akan kembali cerah setelah badai. Kau hanya perlu terus menulis, tak peduli apa yang dikatakan orang. Bukankah hidup itu sendiri perjuangan, dan kata-kata adalah senjatamu?"

Aku merasakan semangat bangkit di dalam diriku. "Jadi, kau tidak pernah takut pada apa yang akan orang katakan tentang puisimu?"

Chairil menggeleng. "Tak pernah. Aku menulis untuk hidup, bukan untuk pujian. Menulis adalah caraku melawan kefanaan, caraku menantang kematian. Karena itu, tulisanku akan tetap ada, bahkan ketika aku sudah tiada."

Malam itu, percakapanku dengan Chairil Anwar terasa begitu nyata. Ia meninggalkanku dengan sebuah pelajaran penting: menulis bukanlah tentang ketenaran, melainkan tentang keberanian untuk berkarya. Dan dengan semangat baru, aku mulai menulis, kali ini dengan penuh keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun