Aku duduk termenung di teras rumah, malam begitu sunyi. Fikiran kacau balau, rasa sakit karena difitnah oleh keluargaku sendiri mengoyak hati. Tak ada pembelaan yang bisa kulakukan, mulutku serasa terkunci oleh keadaan. Tiba-tiba, seolah angin membawa ketenangan, sosok Gus Dur hadir di hadapanku. Wajahnya tersenyum lembut seperti biasa, memberikan kehangatan yang tak bisa kujelaskan.
"Assalamu'alaikum, Gus," sapaku, meski tak yakin apakah ini nyata atau hanya imajinasiku.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya dengan suara yang begitu tenang. "Kamu kenapa kelihatan galau begitu, Nak?"
Aku terdiam sejenak, lalu dengan suara bergetar aku mulai bercerita, "Gus, bagaimana caranya supaya hati ini tetap tenang saat kita difitnah oleh keluarga sendiri? Saya sudah berusaha menjelaskan, tapi tidak ada yang mendengar. Saya merasa tidak berdaya, Gus."
Gus Dur mengangguk perlahan, seolah sudah memahami rasa sakit yang kusimpan dalam hati. "Difitnah itu ujian berat, apalagi jika datang dari orang yang seharusnya mendukung kita. Tapi tahu tidak, Nak, bahwa di setiap fitnah ada jalan menuju kedewasaan?"
"Jalan menuju kedewasaan, Gus?" tanyaku dengan bingung. "Tapi bagaimana mungkin kita bisa menjadi dewasa kalau terus disakiti seperti ini?"
Gus Dur tersenyum lagi, "Dewasa bukan soal menang atau kalah, Nak. Ini soal bagaimana kamu bisa menjaga hatimu tetap bersih, bahkan ketika dunia di sekitarmu kotor. Ingat, Rasulullah pun sering difitnah, tapi beliau tetap sabar. Kesabaran itu bukti kekuatan, bukan kelemahan."
Aku terdiam, mencerna kata-kata Gus Dur. Tapi rasa sakit itu tetap ada. "Tapi Gus, kenapa harus keluarga sendiri yang melakukannya? Bukankah mereka seharusnya mengerti dan mendukung?"
"Itulah hidup, Nak," jawabnya lembut. "Kadang orang yang paling dekat dengan kita justru yang paling sulit mengerti kita. Tapi di situlah kamu belajar makna ikhlas. Bukan berarti kamu harus diam saja, tapi lebih kepada bagaimana kamu menghadapi semua itu dengan kepala dingin. Jangan sampai fitnah itu membakar jiwamu."
Aku menarik napas panjang, rasa lega sedikit demi sedikit meresap. "Jadi saya harus sabar dan ikhlas, Gus?"