ayah. Aku terjebak dalam nostalgia, meratapi kepergiannya.
Sejak ayahku meninggal dunia, hidupku terasa seperti kapal yang kehilangan arah. Meskipun dari luar tampaknya sempurna---pekerjaan yang bagus, istri yang cantik, dan anak yang gagah dan lucu---aku merasa hampa. Dalam hatiku ada kekosongan yang tak dapat dijelaskan. Aku belum siap ditinggalkan olehnya, dan rasa kehilangan itu begitu kuat. Malam-malam yang sepi sering kali membawa pikiranku kembali pada kenangan-kenangan bersamaSuatu malam, dalam tidurku yang resah, aku bertemu dengan sosok yang sangat kukagumi. Gus Dur, dengan senyum khasnya yang penuh kehangatan, datang menemuiku. "Gus," kataku perlahan, "semenjak ayah saya meninggal, hidup saya rasanya berantakan. Padahal, kalau dilihat dari luar, saya memiliki segalanya. Saya sukses, saya punya keluarga yang bahagia. Tapi di dalam hati, ada rasa yang tak bisa saya hilangkan."
Gus Dur menatapku dengan matanya yang tajam namun penuh kelembutan. "Kamu tahu," katanya pelan, "kehilangan itu memang bagian dari kehidupan, Nak. Tidak ada yang siap ditinggalkan orang yang dicintainya. Tapi, bukankah setiap pertemuan memang sudah digariskan dengan perpisahan?"
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Tapi Gus, saya merasa ayah masih terlalu muda untuk pergi. Saya belum siap. Masih banyak hal yang ingin saya bicarakan dengannya, banyak pelajaran yang belum sempat saya pelajari."
Gus Dur tersenyum lagi. "Ayahmu telah memberikan banyak pelajaran melalui kehadirannya selama ini. Kamu hanya perlu membuka hatimu untuk melihat semua yang telah dia ajarkan kepadamu. Tidak semua pelajaran datang dari kata-kata, banyak yang datang dari tindakan, dari cinta, dari pengorbanan."
"Tapi bagaimana dengan rasa sakit ini, Gus? Rasa kehilangan yang begitu besar?" tanyaku, hampir seperti memohon jawabannya.
"Rasa sakit itu wajar, dan itu adalah tanda bahwa kamu mencintainya. Namun, jangan biarkan rasa sakit itu menjadi penghalang untuk melanjutkan hidup. Bukankah ayahmu pasti ingin melihatmu bahagia, bahkan setelah dia pergi?" jawab Gus Dur lembut.
Aku menunduk, mencoba memahami. Dalam keheningan, aku menyadari bahwa ayahku mungkin tak lagi hadir secara fisik, namun kehadirannya tetap ada dalam setiap langkah hidupku. Aku ingat nasihat-nasihatnya, semangatnya yang tak pernah padam, dan kasih sayangnya yang selalu ada.
"Gus, apakah ini cara saya untuk menemukan kedamaian? Menerima bahwa ayah tetap ada dalam kenangan dan cinta yang dia tinggalkan?" tanyaku.
Gus Dur mengangguk. "Ya, dengan menerima dan mengingatnya, kamu akan menemukan kedamaian. Rasa sakit tidak akan hilang sepenuhnya, tapi perlahan, kamu akan belajar untuk hidup dengannya. Jadikan kenangan itu sebagai pelita yang membimbingmu dalam perjalananmu."
Aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Seolah-olah, percakapan dengan Gus Dur tadi membuka mataku. Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi setidaknya, aku memiliki arah yang lebih jelas untuk melangkah. Ayah mungkin sudah pergi, tapi cintanya tetap abadi di hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H