Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Imajiner di Pelataran Tanjung Barat

5 Oktober 2024   05:57 Diperbarui: 5 Oktober 2024   07:33 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan di Tanjung Barat, saat senja perlahan merangkak, Bang Gacor, seorang penjaga parkir yang sudah puluhan tahun menjaga tempat itu, duduk di atas kursi plastiknya. Ia dikenal bukan hanya karena suaranya yang lantang saat memberi aba-aba pada pengendara, tapi juga karena kerap berbicara sendiri seolah-olah sedang berdiskusi dengan tokoh-tokoh besar. Di tengah kesunyian sore itu, angin berdesir pelan, seakan membawa sebuah energi yang tidak biasa.

Bang Gacor mendadak tertegun ketika di hadapannya muncul sosok yang sangat ia kenali dari buku sejarah—Bung Karno. Mata karismatik Bung Karno menatap Bang Gacor dalam-dalam, seolah mengundangnya untuk berbicara. Bang Gacor yang semula bingung, segera berdiri, menarik napas panjang, dan tersenyum lebar.

Pak, ini beneran Bung Karno?” tanya Bang Gacor sambil menggaruk kepala. Suaranya sedikit gemetar. "Aduh, saya nggak siap kalau begini."

Bung Karno tertawa pelan, suaranya tegas tapi ramah. “Jangan gugup, Saudara. Kita hanya berbincang. Apa yang kamu ingin tanyakan kepada saya?

Bang Gacor menatap wajah Bung Karno yang penuh wibawa. "Pak, Indonesia ini sekarang beda banget sama zaman dulu ya, waktu Bapak masih memimpin. Rakyatnya susah, macet di mana-mana, politikusnya berantem terus. Apa yang salah ya, Pak?"

Bung Karno menarik napas panjang. “Saudara, bangsa ini memang selalu dalam proses. Saat saya memperjuangkan kemerdekaan, saya selalu bicara tentang semangat gotong royong. Tapi, gotong royong bukan hanya soal bekerja bersama, melainkan juga saling memahami. Nah, itu yang terkadang hilang di zaman ini—rasa kebersamaan.

Bang Gacor mengangguk pelan. "Betul, Pak. Di sini aja, lihat, orang-orang parkir semau gue. Saling sikut, nggak peduli sama yang lain. Padahal kan tinggal ikut aturan aja, tapi tetep aja ribet."

Bung Karno tersenyum simpul. “Disiplin adalah kunci, Saudara. Tapi lebih dari itu, cinta tanah air juga berarti menghargai sesama. Memimpin dengan hati. Rakyat yang berjiwa besar lahir dari pemimpin yang berhati besar.

Bang Gacor terdiam sejenak, berpikir. “Pak, kalau Bapak masih hidup sekarang, apa yang Bapak lakukan biar Indonesia bisa lebih baik?

Bung Karno menatap langit yang mulai berubah gelap. “Saya akan terus mengingatkan bangsa ini tentang pentingnya karakter. Pemimpin yang sejati adalah mereka yang tak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga rakyatnya. Dan rakyat yang tangguh adalah mereka yang selalu berdiri di atas kaki sendiri, seperti yang saya sampaikan dalam konsep Trisakti.

Bang Gacor tersenyum lebar. “Wah, Pak, saya mungkin cuma tukang parkir, tapi saya juga ingin berbuat sesuatu buat negeri ini. Setidaknya di sini, di Tanjung Barat, saya bisa mulai dari hal kecil. Ngatur parkiran biar nggak semrawut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun