Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, saya menjalani kehidupan sebagai mahasantri di Mahad Sunan Ampel Al-Aly saat semester 1 dan 2. Di sana, saya memiliki sahabat dekat yang bernama Dimas Fahrurrozi. Dimas dan saya bukan hanya sekedar teman kuliah, tetapi juga tetangga kamar di asrama. Kamar kami saling berhadapan, membuat hubungan kami semakin erat. Saya mengambil jurusan Teknik Informatika, sedangkan Dimas jurusan Akuntansi. Meski berasal dari latar belakang akademik yang berbeda, kami memiliki banyak kesamaan yang membuat kami dekat.
Setiap hari, setelah pulang dari kelas, kami sering duduk bersama di teras asrama, mengobrol hingga larut malam. Saya asli Jember, sementara Dimas berasal dari Lumajang. Kami sama-sama berasal dari kota kecil di Jawa Timur, yang membuat kami merasa lebih nyaman satu sama lain. Obrolan kami sering kali berkisar tentang kampung halaman, kuliah, dan kehidupan sebagai mahasantri di Malang, sebuah kota yang tidak jauh dari rumah.
Di sela-sela kesibukan kuliah, Dimas dan saya sering mencari waktu untuk menikmati keindahan kota Malang. Terkadang, kami naik angkot menuju alun-alun kota, menikmati suasana sore sambil makan cilok atau bakso Malang yang terkenal. Ada rasa kebersamaan yang sulit dijelaskan ketika kami berbagi pengalaman dan saling mendukung di kota yang serba baru bagi kami ini.
Di jurusan yang berbeda, kami belajar tentang cara berpikir yang berbeda pula. Dimas sering bercerita tentang tugas-tugas akuntansinya yang rumit, sementara saya kerap menceritakan tantangan dalam memahami kode-kode pemrograman. Meski begitu, kami saling belajar dari satu sama lain. Dari Dimas, saya belajar untuk lebih tertib dalam mengatur keuangan, dan sebaliknya, saya membantu Dimas memahami teknologi.
Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika kami harus menyelesaikan tugas besar di waktu yang bersamaan. Saya dengan proyek pemrograman saya yang membuat kepala pusing, dan Dimas dengan laporan akuntansinya yang rumit. Di malam itu, kami bekerja di kamar masing-masing, tetapi sesekali keluar kamar untuk menyapa dan memberikan semangat. Rasanya, meski tugas-tugas itu berat, kehadiran Dimas membuat beban terasa lebih ringan.
Selain itu, kami sering menghabiskan waktu di masjid kampus, mengikuti kajian atau hanya duduk bersama setelah shalat. Di situ, kami merenungi kehidupan dan mimpi-mimpi masa depan. Meski jalur karier kami berbeda, ada kesepahaman dalam tujuan hidup kami yang membuat persahabatan ini semakin kuat. Kami sama-sama ingin membahagiakan orang tua dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.
Tak jarang kami juga membahas masa depan. Saya bercita-cita menjadi seorang programmer yang handal, sementara Dimas bermimpi menjadi akuntan yang sukses. Meski begitu, kami sadar bahwa perjalanan untuk meraih mimpi itu tidaklah mudah. Ada banyak rintangan yang harus dihadapi, baik di dalam maupun di luar kampus.
Namun, satu hal yang selalu saya syukuri adalah persahabatan dengan Dimas. Di tengah kesibukan kuliah, tekanan tugas, dan tantangan hidup jauh dari rumah, Dimas selalu ada untuk mendengarkan dan mendukung saya. Begitu pula sebaliknya. Kami saling menguatkan di saat-saat sulit, dan itu yang membuat persahabatan ini istimewa.
Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa, masa kuliah kami telah selesai. Namun, saya yakin, meski kami telah menempuh jalan masing-masing, persahabatan ini akan tetap terjaga. Malang mungkin hanya menjadi tempat singgah sementara, tetapi kenangan bersama Dimas akan selalu menjadi bagian penting dari perjalanan hidup saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H