Di sebuah pagi yang cerah, di halaman rumah sederhana, Mas Bhumi, anak berusia dua tahun, berlarian penuh semangat. Dengan tubuh mungilnya yang lincah, ia memegang bola kecil di tangannya. Sejak beberapa minggu terakhir, Bhumi menunjukkan ketertarikannya pada sepak bola. Setiap kali melihat bola, ia langsung tertarik, dan kini, di usia dua tahun, ia sudah mahir menendang bola ke sana kemari dengan penuh kegembiraan.
Hari itu, Ayah Bhumi, yang juga seorang penggemar sepak bola, duduk di kursi taman sambil mengamati anaknya yang asyik bermain. "Ayo Bhumi, tendang bolanya ke arah Ayah!" serunya. Bhumi tersenyum lebar dan menendang bola sekuat tenaga dengan kaki mungilnya. Bola meluncur lurus dan mendarat tepat di kaki Ayah. "Bagus sekali, Bhumi!" Ayahnya tertawa bangga.
Setiap pagi, setelah sarapan, Bhumi selalu meminta bolanya. "Bola, bola!" katanya dengan bahasa khas anak seusianya. Ayahnya segera mengambil bola kecil warna putih kesukaannya dan membiarkan Bhumi berlarian di halaman. Terkadang, ia meniru gerakan para pemain sepak bola yang dilihatnya di televisi, meskipun dengan gaya lucu yang khas anak-anak.
Sore harinya, Bunda Bhumi bergabung di halaman. "Lihat, Bun, Bhumi mulai bisa menggiring bola!" kata Ayahnya dengan nada bangga. Bunda hanya tersenyum hangat, bangga melihat perkembangan putranya yang tampak semakin mahir. Ia ingat, saat Bhumi baru bisa berjalan, setiap langkahnya penuh hati-hati. Kini, anaknya sudah berlari ke sana kemari mengejar bola dengan penuh percaya diri.
Suatu hari, Ayah Bhumi memutuskan untuk membawanya ke lapangan sepak bola di dekat rumah. Bhumi yang senang bermain bola di halaman, tampak sangat antusias saat pertama kali melihat lapangan yang luas itu. "Wow!" serunya dengan mata berbinar. Ia langsung berlari menuju bola yang dibawa Ayahnya, menendangnya dengan semangat yang tak pernah surut.
Di lapangan itu, Bhumi bertemu dengan anak-anak lain yang lebih besar. Meskipun usianya paling kecil, Bhumi tidak merasa canggung. Ia dengan cepat berbaur, mengikuti gerakan anak-anak yang lebih besar, mencoba menendang bola bersama mereka. Beberapa anak bahkan takjub melihat Bhumi yang masih kecil namun memiliki kemampuan mengontrol bola dengan baik.
Setiap akhir pekan, lapangan itu menjadi tempat favorit Bhumi. Orang-orang yang sering berlatih di sana mulai mengenali sosok mungil yang penuh semangat itu. "Itu Mas Bhumi, si jago bola kecil," ujar salah seorang pelatih yang sering melihatnya bermain. Setiap kali Bhumi datang, ia selalu disambut dengan senyum dan sorakan dari orang-orang di lapangan.
Meskipun masih kecil, Bhumi sudah menunjukkan kecintaan yang besar pada sepak bola. Setiap hari ia berlatih, menendang, menggiring bola, dan bahkan mencoba mencetak gol kecil-kecilan dengan memasukkan bola ke gawang kecil yang dibelikan Ayahnya. "Bhumi pasti jadi pemain hebat nanti," kata Ayahnya penuh keyakinan, sambil terus mendukung anaknya untuk bermain dengan senang.
Suatu sore, ketika Bhumi berhasil mencetak gol kecil pertamanya ke gawang yang dipasang Ayahnya, ia melompat-lompat kegirangan. "Gol! Gol!" serunya, sementara Ayah dan Bunda bertepuk tangan. Itu adalah momen yang sederhana namun penuh makna, di mana Bhumi mulai merasakan kegembiraan dalam mengejar impian kecilnya---menjadi pemain bola.
Hari itu, saat matahari mulai terbenam, Bhumi duduk di pangkuan Ayahnya, kelelahan namun tersenyum puas. "Besok main bola lagi, Yah," katanya sambil memeluk erat bola kecilnya. Ayahnya tersenyum hangat, merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan oleh Bhumi. Baginya, kegembiraan anaknya lebih berharga dari segalanya, dan ia yakin, langkah kecil Bhumi hari ini akan menjadi awal dari mimpi besar di masa depan.
Keesokan paginya, seperti biasa, Bhumi terbangun dengan semangat yang sama. "Bola! Bola!" pintanya sambil menarik tangan Ayahnya. Hari itu, Ayahnya sudah merencanakan sesuatu yang istimewa. "Hari ini kita ke lapangan besar lagi, Bhumi," kata Ayah sambil tersenyum. Bhumi melompat-lompat kegirangan. Lapangan besar selalu menjadi tempat favoritnya karena di sana ia bisa berlari lebih jauh dan bermain dengan banyak anak-anak.
Saat tiba di lapangan, Bhumi langsung berlari tanpa menunggu Ayahnya. Ia sudah hafal setiap sudut lapangan itu. Namun kali ini, Ayahnya memperhatikan sesuatu yang berbeda. Di tengah lapangan, tampak sekelompok anak-anak yang lebih besar sedang berlatih serius, lengkap dengan seragam sepak bola. "Mereka sedang latihan tim, Bhumi. Lihat, nanti kalau kamu sudah besar, bisa ikut seperti mereka," kata Ayahnya sambil menunjuk ke arah anak-anak yang berlatih.
Tiba-tiba, salah satu bola dari kelompok itu menggelinding ke arah Bhumi. Tanpa ragu, Bhumi berlari mengejarnya dan menendang bola itu kembali ke arah anak-anak yang sedang berlatih. Bola itu melambung cukup tinggi, membuat beberapa anak menoleh heran. "Siapa anak kecil itu?" tanya salah seorang pelatih yang memperhatikan dari pinggir lapangan. Melihat aksi Bhumi, pelatih itu tersenyum.
"Anak itu punya bakat," ujar pelatih sambil menghampiri Bhumi yang tampak malu-malu. "Namamu siapa?" tanya pelatih itu. "Bhumi," jawabnya pelan, namun matanya berbinar-binar penuh antusias. Pelatih itu tersenyum, lalu melihat ke arah Ayah Bhumi yang berdiri tak jauh dari sana. "Dia suka sepak bola?" tanya pelatih. Ayah Bhumi mengangguk. "Dia baru dua tahun, tapi sudah sangat suka main bola."
Melihat bakat Bhumi, pelatih itu mengundang Ayahnya untuk membiarkan Bhumi bergabung sebentar dalam latihan. Meskipun awalnya ragu karena Bhumi masih sangat kecil dibanding anak-anak lainnya, Ayah akhirnya setuju. Bhumi berlari ke lapangan dengan antusias. Meski langkah kakinya masih pendek dan cepat, ia dengan berani mencoba ikut dalam permainan.
Di tengah permainan, Bhumi dengan cepat menjadi pusat perhatian. Anak-anak lain tersenyum melihat anak kecil yang berani dan penuh semangat itu. Setiap kali Bhumi mendapatkan bola, ia menendangnya dengan penuh tenaga, dan meskipun tidak selalu tepat sasaran, semua orang memberikan tepuk tangan untuk usahanya.
Salah satu momen paling berkesan terjadi ketika Bhumi tiba-tiba berhasil melewati dua pemain yang lebih besar dan menendang bola ke arah gawang kecil yang digunakan untuk latihan. Bola itu meluncur pelan, tetapi tepat masuk ke dalam gawang. Semua orang bersorak. Bhumi melompat-lompat penuh kegirangan, sambil berteriak, "Gol! Gol!" Sorakan dari anak-anak dan pelatih membuat senyum di wajah kecil Bhumi semakin lebar.
Setelah latihan selesai, pelatih mendekati Bhumi dan Ayahnya. "Anak ini punya potensi besar," katanya. "Kalau dia terus berlatih, saya yakin dia bisa menjadi pemain yang hebat suatu hari nanti." Ayah Bhumi hanya tersenyum bangga. Ia tahu bahwa perjalanan Bhumi baru saja dimulai, tapi melihat semangat dan kebahagiaan di wajah putranya, Ayah merasa yakin bahwa Bhumi memiliki masa depan yang cerah di dunia sepak bola.
Hari itu berakhir dengan kelelahan namun penuh kebahagiaan. Dalam perjalanan pulang, Bhumi tertidur di kursi belakang mobil dengan bola kesayangannya masih dipeluk erat. Ayah Bhumi tersenyum saat melihatnya melalui kaca spion. Ia tahu, di dalam mimpi Bhumi pasti sedang mencetak gol-gol indah di lapangan besar.
Setiap kali Bhumi terbangun dari tidur siangnya, mimpinya tentang lapangan hijau selalu menjadi kisah yang ia ceritakan kepada Ayah dan Bunda. "Bhumi mau jadi pemain bola," ucapnya dengan nada polos namun penuh keyakinan. Mereka hanya bisa tersenyum, bangga pada mimpi besar yang mulai tumbuh di dalam hati kecil anak mereka.
Seiring berjalannya waktu, Bhumi terus berlatih, belajar, dan menikmati setiap tendangan bola yang ia lakukan. Tak ada yang tahu seberapa jauh mimpi Bhumi akan membawanya, tapi satu hal yang pasti: ia selalu menendang bola dengan seluruh hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H