Mohon tunggu...
Rizaldo Maarief
Rizaldo Maarief Mohon Tunggu... profesional -

gemar menulis. bekerja pada bidang tulis-menulis. "kata-kata tidak mengenal waktu. kita harus mengucapkannya atau menuliskannya dengan menyadari akan keabadiannya..."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Onthel Si Canting…

5 Juni 2012   07:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Antara realitas dan idealitas sudah tidak memiliki batas…” –postmodernisme-

Jarum jam baru menunjuk angka 07.00 WIB. Matahari, Sabtu pertengahan Mei lalu, belum sepenuhnya memancarkan teriknya. Namun, denyut roda kehidupan di sudut Kampung Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedang menggeliat.

Puluhan gadis, ibu-ibu, wanita baya, pemuda, pria paruh baya, saya lihat sangat bersemangat menyongsong kehidupan. Mereka beriringan. Bertegur sapa. Ramah, senyumnya menggembang kepada setiap orang. Tak ada guratan putus asa.

[caption id="attachment_180982" align="alignnone" width="640" caption="Onthel Pembatik Pekalongan..."]

1338880942983457231
1338880942983457231
[/caption]

Kakinya mengayuh pasti sepeda onthel berwarna seirama; hitam merk phoenix, kalau tidak salah keluaran tahun 1970-an, memasuki lahan seluas 1000 meter persegi. Kringkring…bel antik dibunyikan. Suaranya nyaring. Seakan memberi tanda salam kepada saya. Satu persatu, sepeda klasik itu memasuki bangunan. Semuanya, yang saya lihat tersenyum gembira.

[caption id="attachment_180983" align="alignnone" width="640" caption="Onthel hitam; Sebuah Pengharapan Hidup..."]

1338880980916954517
1338880980916954517
[/caption]

Tempat apa itu? Saya terpana. Bahwa bangunan yang tampak usang dari luar itu, ternyata sebuah “Pengharapan Abadi”. Saya menyebutnya begitu, lantaran benar, bahwa bangunan itu adalah tempat mereka menyambung hidup keluarga, serta tempat berkarya secara turun temurun.

Ya…itulah tempat produksi batik tulis Wirokuto. Di sini lah, sekitar 500-an pemuda, pemudi, bapak, ibu, kakek, nenek, yang putus sekolah, warga sekitar Wiradesa, Pekalongan, berprofesi sebagai pembatik tradisional; batik tulis canting.

[caption id="attachment_180984" align="alignnone" width="640" caption="Pembatik tulis canting..."]

133888104360353091
133888104360353091
[/caption] Dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB, mereka menjalani rutinitasnya; sebagai pembuat motif dan pola, pembatik tulis, pewarna, penglorot alias pelunturan malam. Segala motif dan pola batik, dituangkan dalam sehelai kain sutra dan tenun dengan canting tradisional. [caption id="attachment_180985" align="alignnone" width="640" caption="Pembatik tulis; karya adalah idealitasnya..."]
1338881100751645455
1338881100751645455
[/caption] Gadis mungil 16 tahun asal Wiradesa ini misalnya. Keahlian membatik canting, Ia dapatkan dari warisan sang nenek. Sudah puluhan tahun, ia berprofesi sebagai pembatik tulis. Tangannya sudah tak asing dengan berbagai jenis canting dan malam perentang warna.

[caption id="attachment_180987" align="alignnone" width="640" caption="dengan cara tradisional, pembatik memiliki tanggung jawab moral melestarikan budaya leluhur..."]

1338881173199335225
1338881173199335225
[/caption]

Begitu juga dengan wanita muda 20 tahun ini. Nur Kamila. Tangannya begitu akrab dengan canting malam sejak kecil. Ia bisa membatik karena diajari kedua orangtuanya, yang berprofesi sebagai pengrajin batik tulis. “Saya ingin meneruskan tradisi leluhur ini. Bagaimanapun membatik adalah mata pencaharian masyarakat Pekalongan,” ujar Nur kepada saya sembari tersenyum manis. Eehhmmm…!!!

Keleluhuran seni batik tulis, juga terlihat dari karya-karya mereka. Di sini, batik tiga budaya; Three Culture, perpaduan budaya nusantara dari masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke, sedang dikerjakan tangan-tangan terampil si pembatik canting. “Sayang kalau tidak ada yang meneruskan, lama kelamaan tradisi budaya ini akan hilang,” tandas Nur bersemangat.

[caption id="attachment_180988" align="alignnone" width="640" caption="canting, sebuah identitas kearifan lokal..."]

13388812541209761923
13388812541209761923
[/caption] Sungguh, sebuah semangat yang patut dijunjung tinggi. Saya semakin tersadar, bahwa sesuatu yang sederhana, dapat membuat hasil yang luar biasa. Kuncinya; Semangat untuk Terus Maju!!!

Ini realitanya. Bahwa dengan sepeda onthel, para pembatik itu menyongsong berkah penghidupan dari sebuah canting. Lenturan tangan-tangan mereka menjadi harapan bagi keluarga. Saya bersyukur, di tengah modernisasi saat ini, masih ada tradisi yang terus lestari.

Berkat onthel dan canting para pembatik inilah, UNESCO Asia Pasifik pada tahun 2006-2007, memberikan penghargaan Seal of Excellence for Handicraft kepada Wirokuto.

[caption id="attachment_180989" align="alignnone" width="640" caption="Onthel dan Canting; realitas dan idealitas tanpa batas..."]

13388813111843796797
13388813111843796797
[/caption] Semua terjaga dalam sebuah realitas dan idealitas tanpa batas. Perentang canting telah melestarikan denyut nadi kehidupan warga desa secara abadi, sekali lagi secara hakiki. Sekian. Salam. (rizaldo, karpetmerah 20120605)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun