Sekelompok remaja berkaos hitam, sepatu boot, berjaket lusuh dan celana jins robek. Hiasan lain, kulit dipenuhi tato, telinga ditindik, rambut berdiri ala Mohawk. Masih ditambah dengan aksesori rantai menjuntai di saku belakang. Orang-orang muda ini pun terkesan lusuh, urakan, dan seram. Sebagian mereka hidup secara liar. Tak memiliki hunian tetap. Mereka berkelana dari jalan ke jalan. Kebebasan pun menjadi nafas mereka. Tanpa aturan, tanpa sanksi. Bebas bagai burung terbang.
[caption id="attachment_180809" align="aligncenter" width="640" caption="punkers jalanan..."]
Namun, di balik gaya hidup semau gue itu, para punkers –demikian mereka disapa--memiliki jiwa mandiri dan rasa sosial yang tinggi. Ber-ideologi-kan; Do It Your Self, Taring Babi hadir melengkapi toleransi berkehidupan.
[caption id="attachment_180810" align="alignright" width="300" caption="Komunitas Taring Babi"]
Di sini, seorang punkers belajar menjadi mandiri dengan berkarya. Gelang dan kalung dari plastik bekas kopi dan bungkus deterjen inilah hasil karya mereka. Meski penampilan mereka, maaf layaknya penjahat di film-film laga, tangan para punkers ini sangat cekatan dalam membuat karya.
Selain sebagai wadah bersosialisasi, Taring Babi adalah rumah singgah bagi punkers yang ingin mengembangkan potensi yang ada dalam diri untuk melawan penindasaan dengan cara yang independen, kreatif, dan adil.
Ini karya mereka;
[caption id="attachment_180812" align="aligncenter" width="640" caption="Gelang dan Kalung daur ulang bungkus kopi kemasan karya punkers mandiri..."]
Seperti Rian dan ketiga kawannya ini. Mereka adalah punkers jalanan asal Bandung. Datang ke Taring Babi karena ingin mendapatkan pengalaman hidup yang berarti. Di sini, Rian dan kawan-kawan diajarkan bagaimana membuat produk kerajinan daur ulang.
[caption id="attachment_180814" align="aligncenter" width="640" caption="punkers asal Bandung belajar mandiri..."]
[caption id="attachment_180815" align="aligncenter" width="640" caption="Sablon cukil kayu karya punkers mandiri..."]
Selain sablon cukil kayu, mereka juga mahir dalam pembuatan tattoo. Yang menarik, para punkers ini sering menerima orderan tattoo namun tidak ingin dibayar dengan uang melainkan dengan beras. Tujuannya, ingin membuat lumbung padi dari hasil mentattoo, yang nantinya akan dibagikan kepada warga tidak mampu yang berada di sekitar daerah sini.
[caption id="attachment_180823" align="aligncenter" width="336" caption="Meski bertindik, bertato, penampilan awut-awuta, punkers ini mahir membuat sablon. kreatif dan inovatif..."]
Bukan hanya Rian yang datang untuk belajar berkarya. Di rumah seluas 150 meter ini, juga berdatangan punkers dari hampir seluruh negeri. Medan, Batam, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, dan lainnya. Mereka datang dengan motivasi ingin hidup berdikari, independen, tak bergantung terhadap keadaan.
Misi utamanya adalah dalam kondisi apapun mereka hidup dengan kemampuan sendiri. Berdiri sejak tahun 1997, Taring Babi menolak diskriminasi sosial. Mereka anti kemapanan. Mereka jelas menolak kapitalisme, dan mereka tegas mengkritik negara yang tak memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi warganya. “Kami ingin menunjukkan bahwa kami (punker) juga bisa bermanfaat bagi masyarakat luas,” ujar Bobby Adam Firman atau yang kerap dipanggil Bobby, sang pendiri Komunitas Taring Babi kepada saya dengan tegas.
Benar apa yang dikatakan Bobby ini. Saya, dengan mata kepala sendiri, melihat jelas bagaimana komunitas punkers ini diterima masyarakat sekitar. Tidak ada ketakutan, atau kekhawatiran. “Kami sebagai warga sangat terbantu. Kalo ada kerja bakti atau acara tujuh belasan mereka (punkers Taring Babi) sigap membantu mendekor panggung. Ada yang kawinan atau sunatan, mereka tanpa pemarih membantu,” kata ibu Sumiati.
Tidak ada sedikit pun stigma negatif terhadap golongan marjinal ini.“Kadang juga ada ibu-ibu nge-rujak, kami juga ikut bikin sambelnya, ha ha ha…,” tandas Bobby seraya berkelakar. Sejak dari usia 12 tahun, Bobby hidup secara liar. Semau gue dan tak pernah terikat aturan. Hidupnya hanya berpindah dari jalan satu ke jalan lainnya. Bagi pria 33 tahun ini, alam adalah ruang belajar mengekspresikan diri.
[caption id="attachment_180819" align="aligncenter" width="640" caption="Bobby Firman, pendiri Komunitas Taring Babi...Saling berbagi dan saling membantu. Sikap persaudaraan para punkers di komunitas ini memang sangat kuat dan menyatu. Mereka bahu-membahu belajar kemandirian dengan kaki, tangan, mulut, mata, dan telinganya sendiri."]