Dia adalah Honda Revo bernama Lusi, Revo Lusi. Yang dilahirkan duaribu sepuluh tahun semenjak berlakunya tahun Masehi.
Dia adalah kawan setia berlalu dan melintas lalulintas Kab-Kota Bandung, terjang macet, banjir dan jelajah warung kopi yang mereka menjual tidak memberi.
Aku temukan dia di sudut bengkel sebuah dealer, kumal, tak terurus, kalah menawan dari kawan sebangsanya yang lebih gagah dan rupawan.
Orang bilang dia adalah si "kabut salju" (kajeun butut asal maju - meskipun butut yang penting melaju - red) tapi tak apalah, karena aku yakin dia mampu.
Akhirnya aku memutuskan dia kuadopsi, jadikan kawan untuk mencari rejeki, mencari penghidupan untuk anak dan istri.
Oh, terimakasih kawan, kau tetap tangguh terjang derasnya air banjir yang sedang populer di kota ini, juga meroketkan kepopuleran sang Bupati dan Walikotanya sendiri, kota kembang, Parijs van Java, yang katanya kota ini bukan hanya urusan geografis, tapi melibatkan perasaan dikala sunyi yang saat ini melibatkan perasaan dikala hujan tak kunjung berhenti.
Postingan romantis, kisah tentang kaum jomblo nestapa merana duafa tak berdaya mulai menghilang. Banjir ini seakan mengingatkan akan kekuatan alam, yang hanya butuh sesaat untuk meruntuhkan hegemoni manusia pelaku pembangunan.
Oh Lusi, kita menyaksikan sebagian kebesaran Yang Maha Kuasa. Kita menyaksikan akibat dari perilaku kita sendiri sebagai khalifah di dunia, arogansi manusia mengeksploitasi alam tanpa belas kasihan.
Oh Lusi, sudahlah aku mencucimu hari ini? Oh belum, biarlah nanti nanti saja jika aku ingin. Jangan marah.
Banjaran 13 November 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H