dan lain daripada itu, negara tidak memberikan alur yang jelas dalam mengatasinya, mereka justru menegosiasikan dengan cara yang lebih politis untuk melanggengkan kepatuhan, pendekatan militer solusinya. maka cukup masuk akal jika narasi untuk tetap berada dirumah dirasa tidak mewakili suara kaum yang tertindas.Â
Sedangkan bertahun-tahun sebelum pandemi, keterpinggiran sudah kenyang dirasakan oleh kelas bawah. Alih-alih untuk berdiam diri dirumah, seseorang bisa dengan tulus untuk lebih memilih risiko kematian, dibandingkan hidup dalam kepastian untuk patuh.
"Jika kamu berpikir kenyataan hanya hidup nyaman dan mengikuti keinginanmu sendiri, bisakah kamu dengan berani menyebut dirimu seorang prajurit?" - Eren Jaeger
Persis seperti yang ada dalam cerita "Attack on Titan", inilah revolusi yang diinginkan, ketimbang manusia harus hidup dalam kandang yang mereka sebut sebagai dinding, jalan satu-satunya adalah pembebasan.
Maka jika kita kembali pada kutipan diawal catatan ini, dapatlah kita asumsikan dan meminjam dari apa yang dikatakan Foucault, pemberontakan adalah subjektivitas yang memungkinkan kita untuk masuk ke dalam sejarah dan memberi nafas baru dalam kehidupan.
Seseorang yang tidak mengorbankan apapun maka tidak akan mengubah apa-apa. bahkan seorang penjahat mempertaruhkan nyawanya melawan hukuman yang absurd.Â
Inilah pemberontakan, keberanian anda untuk mengorbankan cara hidup aman yang diperoleh dan dituntut, pastilah akan menemukan dalam pemberontakan sebuah titik yang melabuhkan pada kekukuhan prinsip.Â
Maka seperti yang kita lihat dalam kisah Sisifus, ini bukanlah bunuh diri, melainkan pemberontakan Sisifus terhadap dewa-dewa.Â
Orang-orang dengan tingkat kemapanan yang tinggi dengan lantang akan menyalahkan mereka, karena kapitalisme yang demikian merayap begitu mengerikan, anda mungkin dapat mengatakan itu salah, tapi itu bukan kesalahan, cukup bayangkan jika anda berada dalam situasi yang sama, diatas kerinduan lengang anak-anak yang mati, dan para lelaki yang pergi meninggalkan perempuannya, dan seorang ayah dalam kelelahan untuk keluarganya, dan ditengah-tengah tangis seorang ibu yang rindu seorang anaknya di perantauan.Â
Pandemi ibarat kayu bakar, dan nyala api dihidupi oleh pemberontakan kita sebagai manusia, ditengah kebisingan yang tidak disadari, kita telah kehilangan sisi kemanusiaan kita untuk memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H