Mohon tunggu...
RIZAL ARIFIN
RIZAL ARIFIN Mohon Tunggu... Dosen - mahasiswa

saya akan sukses

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Prita Mulyasari: Kebebasan Berpendapat dalam Jurang Hukum

25 September 2024   20:57 Diperbarui: 25 September 2024   21:29 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus Prita Mulyasari dimulai pada tahun 2009, ketika Prita, seorang ibu rumah tangga, mengalami masalah dalam pelayanan medis di Rumah Sakit Bunda Jakarta. Setelah mengalami penanganan yang dianggap tidak memuaskan, ia menulis keluhan di milis kesehatan, mengungkapkan pengalaman buruknya dan mengkritik pelayanan rumah sakit tersebut.

Tulisan Prita cepat menyebar di internet dan menarik perhatian publik. Namun, pihak rumah sakit merasa reputasinya tercemar dan mengambil langkah hukum dengan menggugat Prita atas tuduhan pencemaran nama baik. Mereka mengklaim bahwa keluhan tersebut merugikan nama baik institusi.

Pada tahun 2009, Prita dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan dan denda Rp 100 juta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keputusan ini memicu kemarahan di kalangan masyarakat dan aktivis hak asasi manusia. Banyak yang menganggap bahwa hukuman ini adalah pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi dan menjadi simbol ketidakadilan dalam sistem hukum.

Dukungan untuk Prita mengalir dari berbagai kalangan, termasuk LSM, akademisi, dan masyarakat umum. Mereka mengorganisir kampanye untuk membela Prita dan menyerukan perubahan dalam undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik.

Akhirnya, pada tahun 2010, Prita dibebaskan setelah proses banding. Kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang hak kebebasan berbicara, penggunaan media sosial, dan perlindungan hukum bagi individu yang mengungkapkan pendapatnya. Kasus Prita Mulyasari menjadi titik balik dalam upaya perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Analisis Kasus Prita Mulyasari: Perspektif Hukum Positivisme dan Madzhab Hukum Positivisme

1. Hukum Positivisme: Dasar Pemikiran

Hukum positivisme berfokus pada norma-norma hukum yang tertulis dan berlaku secara formal. Dalam konteks kasus Prita, hukum yang digunakan adalah undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum positivisme menilai hukum sebagai produk dari sistem yang sah dan berlaku, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika di luar teks hukum.

2. Penerapan Hukum dalam Kasus Prita

-Kepastian Hukum: Pengadilan menjatuhkan hukuman berdasarkan pasal-pasal yang ada, yang memberikan kepastian hukum dalam prosedur penegakan hukum. Meskipun keputusan ini dapat diperdebatkan dalam konteks keadilan, dari sudut pandang positivisme, keputusan tersebut sah karena mengikuti proses yang ditetapkan.

-Fokus pada Teks Hukum: Dalam pandangan ini, hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi. Prita dianggap telah melanggar hukum dengan menulis keluhan yang dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit.

3. Madzhab Hukum Positivisme: Perbedaan Pendekatan

Madzhab hukum positivisme, seperti yang dikembangkan oleh para tokoh seperti John Austin dan Hans Kelsen, memberikan nuansa tambahan dalam analisis ini.

-John Austin: Dalam pandangannya, hukum adalah perintah dari otoritas yang sah. Dalam kasus Prita, perintah hukum diambil dari sistem peradilan yang menganggap bahwa tindakan Prita melanggar hukum. Dari sudut ini, otoritas hukum berhak untuk menghukum, meskipun hal itu mungkin berlawanan dengan pandangan masyarakat.

-Hans Kelsen: Kelsen mengembangkan teori hirarki norma hukum, di mana hukum positif harus mengikuti norma dasar (grundnorm). Dalam konteks ini, walaupun hukum pencemaran nama baik ditegakkan, ada perdebatan tentang apakah norma dasar yang melindungi kebebasan berekspresi telah dilanggar. Kelsen mungkin berargumen bahwa hukum harus selaras dengan prinsip-prinsip dasar yang mendasari sistem hukum.

4. Implikasi Hukum dan Reformasi

Kasus Prita juga menunjukkan batasan hukum positivisme dalam merespons perkembangan sosial. Ketika masyarakat menuntut perubahan dalam perlindungan kebebasan berbicara, ini menunjukkan bahwa sistem hukum harus mampu beradaptasi. Tekanan dari masyarakat mendorong diskusi tentang reformasi hukum yang lebih inklusif terhadap hak asasi manusia.

5. Kesimpulan

Dari perspektif hukum positivisme, kasus Prita Mulyasari menggarisbawahi pentingnya kepastian hukum dan penerapan norma yang berlaku. Namun, melalui lensa madzhab hukum positivisme, kita dapat melihat bagaimana hukum harus berevolusi untuk mencerminkan nilai-nilai dasar yang lebih luas dalam masyarakat. Kasus ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara penegakan hukum yang ketat dan perlindungan hak-hak individu, serta tantangan yang dihadapi sistem hukum dalam merespons tuntutan masyarakat yang berubah.

#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun