Seperti yang telah kita ketahui bersama, sistem pendidikan kita sudah beberapa kali melakukan revisi kurikulum dalam satuan pendidikan nasional dengan tujuan untuk mempersiapkan anak bangsa sebagai penerus generasi yang memiliki karakteristik unggul, kompetensi luas, literasi mumpuni, dan komunikasi lugas, serta tegas. Untuk  kurikulum yang sekarang dipergunakan adalah kurikulum merdeka belajar. Dimana siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasikan potensi dirinya untuk terus dikembangkan dan dipadukan dengan teori pembelajaran.Â
Kegiatan pembelajaran diupayakan semenyenangkan mungkin agar siswa merasa nyaman, aman, senang, dan riang saat proses belajar mengajar berlangsung. Hal ini bukanlah mudah, tentu melewati proses yang sangat panjang dan rumit. Karena tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk dijadikan sebagai media pembelajaran. Alternatif terbaik adalah guru dan murid bersama-sama memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar untuk dijadikan sebagai media pembejaran. Berkreasi dan inovasi bersama untuk membuat model kreativitas dalam menciptakan media pembelajaran dan suasana belajar lebih mudah diterima. Hal ini sangat menarik untuk dikembangkan sekarangkan. Karena didukung dengan media sosial yang mengalami perkembangan pesat, dapat memudahkan para guru dan murid untuk berkarya dan diupload sebagai kenangan kedepannya. Siswa yang kemampuannya terpendam dapat digali dan diarahkan untuk berkembang agar dapat berkompetisi secara luas. Sayang orang tua banyak yang tidak memahami arti kompetisi sebenarnya.
Orang tua sering melakukan perbandingan terhadap anaknya dengan yang lain, baik terhadap pencapaian akademik maupun non akademik dengan maksud dan tujuan agar termotivasi. Hal ini justru berbanding terbalik, merusak mentalitas dan karakteristik anak. Bahkan tidak hanya orang tua, oknum guru pun terkadang sering melakukan hal tersebut. Apalagi jika anak tersebut bukan berasal dari golongan berada. Kejadian ini tidak dapat kita pungkiri, kemajuan media sosial dengan cepat menyebarkan berita atas perlakuan tersebut. Sikap yang seperti ini justru mendorong anak akan kehilangan jadi dirinya, mudah putus asa, mudah membangkang, dan berujung akan menjadi pelaku bullying.
Berapa banyak kasus perundungan terjadi di sekolah dari tingkat dasar hingga sampai keperguruan tinggi. Revolusi mental yang pernah digaungkan oleh Bapak Joko Widodo ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014 silam hingga sekarang belum terpenuhi secara maksimal. Malahan mengalami kemunduran, Indonesia sendiri berada di posisi lima besar dari 78 negara dengan tingkat kasus perundungan tertinggi di dunia. Setidaknya 42% pelajar menjadi korban perundungan dari berbagai tingkatan satuan pendidikan.
Pada tahun 2023 saja ada beberapa kasus perundungan yang sangat menghebohkan media sosial hingga media nasional, seperti pelajar SMK Keroyok temannya sekolahnya di Cimahi pada tanggal 18 Agustus lalu di kawasan Velodrom. Perundungan yang terjadi di Mts Al Ma'shum, dimana korban dikeroyok sebanyak 6 orang. Perundungan terhadap adik kelas di SMP Babelan, Bekasi. Siswa SD di Gresik buta usai dicolok dengan tusuk bakso karena tidak ingin mengasihkan uang jajannya (pemalakan). Siswa kelas 3 di Sukabumi mengalami perundungan hingga patah tulang. Sebuah video berdurasi 4 menit 14 detik beredar luas, dimana menampilkan perundungan fisik secara brutal oleh siswa SMP Cilacap kepada temannya sendiri. Dan perundungan secara sadis kepada siswa SMP di Balikpapan karena masalah asmara. Kasus demi kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi anak-anak sekarang akses yang mereka tonton tidak terbendung lagi dimedia sosial. Oleh karena itu harus ada solusi yang dapat menangani hal ini, mengingat untuk menuju 100 tahun Indonesia merdeka hanya tinggal 22 tahun lagi. Butuh ekstra kuat untuk membangun generasi emas kedepannya.
Karakter seperti ini tidak muncul begitu saja jika tidak ada faktor yang menyebabkan mereka seperti ini. Faktor-faktor paling dominan yang membuat anak berperilaku seperti ini adalah kurangnya dukungan dari orang tua, sering kali dibandingkan, tidak diberikan kesempatan untuk membela, mencari perhatian dari orang lain dan lainnya. Artinya lingkungan keluarga, circle pertemanan, sekolah sangat membentuk kepribadian anak kita. Anak kita ditentukan berdasarkan lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Ingat kemampuan setiap anak tidak sama, ada limit batasan setiap manusia yang tidak bisa dipaksakan untuk menjadi lebih. Kita bisa memberikan versi terbaik dalam hidup berdasarkan versi terbaik yang ada dalam diri kita, tapi bukan yang perfect. Orang tua terkadang tidak dapat membedakan antara perfect dengan terbaik. Padahal sangat jauh berbeda, jika orang tua menuntut anaknya untuk selalu perpect dalam suatu bidang baik akademik maupun non akademik artinya memaksakan untuk selalu sempurna, tanpa ada cacat. Sedangkan kita hanyalah manusia biasa yang memiliki limit batasan tersendiri. Sehingga perlu disadari sebelum terlambat dalam melakukan dorongan terhadap anak kita ke jalan yang lebih jauh lagi. Mengingat sehebat apapun tetap mengalami batasan, baik berupa ekonomi, fisik, kompetensi dan lainnya. Jadi stop, jangan push mereka terlalu jauh. Yang perlu kita perkuat adalah karakteristiknya. Karena berapa banyak orang yang awalnya terkesima karena melihat karismanya, dan berakhir trauma ketika tahu karakternya seperti apa.
Berapa banyak anak yang dihancurkan mentalnya oleh orang terdekatnya, dan memilih diam tidak bercerita atau berpura-pura baik kesemua orang. Padahal menangis sesunggukan dipojokan kamar, lalu memilih bunuh diri karena ketidakberdayaan. Sehingga wajar jika tidak semua anak beranggapan rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang dan bersandar ketika pundak sedang lelah. Justru rumah adalah layaknya Jahannam, tempat penyiksaan batin. Yang harusnya mendapatkan pelukan, dan sandaran ternyaman saat mata tak kuasa menahan akibatnya kerasnya kehidupan. Tapi malah vonis yang didapatkan, wajar jika ia berubah, sering membangkang, dan hidup dalam dunianya sendiri. Karena kita tanpa menyadari telah menggoreskan luka, inner clildnya terlalu dalam terluka. Lalu muncul istilah kata hilang akal, habis ilmu melihat kenakalan remaja saat ini yang saking meresahkannya. Yang salah tetap anak, padahal orang tua pun punya kesalahan, lebih besar lagi kesalahannya.
Harusnya orang tua dan guru melakukan kolaborasi untuk meningkatkan kemampuan anak. Karena kolaborasi jauh lebih powerfull dalam meningkatkan kompetensi, kreativitas, inovasi dan skill anak didik kita. Sayangnya karena terlalu gengsi, lalu lupa. Jika kita bandingkan antara kolaborasi dengan kompetisi yang secara akademik maupun non akademik akan menimbulkan sebuah perbandingan, pengelompokan, dan stigma baru. Lalu mengapa tidak ajak bergabung untuk belajar bersama. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan, kan sudah ada pertukaran pelajar! Studi banding dan istilah lainnya. Sangat benar, tapi tidak semuan anak berkesempatan untuk mendapatkan itu.
Sistem kolaborasi jauh lebih seru dan meaningfull. Kegiatan seperti ini secara tidak langsung mengkikis sikap negatif yang sering kita lakukan secara tidak sadar. Anak-anak memiliki kemampuan self-esteem yang baik dan terbiasa untuk berkolaborasi serta meningkatkan kebersamaan. Lalu apakah kompetisi itu tidak penting? Tentu saja tidak, kita juga perlu memberitahukan kepada mereka terkait adanya sebuah pencapaian. Mereka dikasih pemahaman sedini mungkin tentang arti kegagalan dan konsep growth mindset. Hanya saja hal seperti ini diperuntungkan untuk mereka yang sudah siap secara mental, memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi, kompetensi, berkarakter, dan komunikatif. Bukan kepada kepada mereka yang belum siap secara mental. Mereka punya cara tersendiri untuk berhasil, jadi tidak usah malu jika anak kita tidak juara secara akademik maupun non akademik. Cukup terus dorong dan bangkitkan kepercayaan dirinya bahwa ia juga sukses kedepannya nanti.
Shawn Achor mengatakan dalam bukunya "Big Potential" bahwa jika ingin mencapai potensi yang terbaik dalam hidup. Jangan lupa circle terdekat harus diperhatikan, karena memiliki pengaruh yang sangat besar. Lalu circle seperti apa yang menurut Achor paling baik, yaitu:
The pilers atau orang-orang yang bisa jadi bahu bersandar jika situasi yang dihadapi tidak memungkinkan.
The bridges atau orang-orang yang bisa menghubungkan kita kepada kesempatan baru (jaringan yang lebih luas).
The extenders atau orang yang bisa membantu untuk mendorong ketika melakukan sesuatu extra miles.
Opra Winfrey pernah mengatakan bahwa you get in life what you have the courage to ask for "Keberanian kamu untuk mengungkapkan apa yang kamu mau dan anggap penting itu yang akan didapatkan dalam hidup. Sehingga mulai sekarang jangan paksa anak untuk ikut berkompetisi jika itu memang bukan kapasitasnya. Jangan bandingkan, beri mereka ruang dan kesempatan untuk mencari tahu segala kemungkinan potensi yang ada dalam dirinya. Jangan paksakan mereka untuk berkelahi dengan waktu karena tingginya tekanan, dan jangan sampai bunuh diri menjadi pilihan akibat sering dibandingkan dan tingginya tuntutan lingkungan sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H