Mohon tunggu...
Rizal Azmi
Rizal Azmi Mohon Tunggu... Guru - Sekretaris Yayasan Annida Qolbu & Tenaga Pendidik

Menulis buku Fiksi dan non fiksi Memasak Membaca Novel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meneropong Sistem Hukum Indonesia

1 November 2023   07:11 Diperbarui: 1 November 2023   07:24 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem hukum di Indonesia diliputi oleh berbagai ragam, hal ini dapat dibuktikan dengan terlihatnya beraneka ragam sistem hukum yang telah mewarnai hukum negeri ini. Dimulai dari sistem hukum eropa, hukum anglo saxon, hukum adat dan hukum agama. Dari sekian banyak hukum yang mewarnai sistem hukum negeri ini, sistem hukum eropa sering digunakan berbagai sumber dan rujukan terutama sistem hukum Negara Belanda. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena belanda telah menajajah bumi pertiwi 3 abad. Sehingga pengaruhnya sangat dominan dan begitu kuat.

Berbicara tentang hukum, secara hakiki berarti berbicara tentang keadilan-sosial. Hal ini menunjukkan bahwa eseni hukum menyentuh seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam dan melalui hukum inilah keadilan dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat suatu bangsa. Hukum adalah masalah yang kompleks dan global. di Indonesia sendiri masalah hukum seperti tak ada habisnya. Masih banyak kita temui para pejabat dengan mudahnya membeli hukum dan masyarakat jelata semakin terjerat oleh hukum. Saat ini di Indonesia jeratan hukum semakin parah. hukum bukan semata-mata persoalan keadilan melainkan masalah harga diri dan persamaan pengakuan hak. Dengan demikian dalam pengertian luas hukum tidak lain dari pada kehidupan sosial masyarakat yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga.

Begitu berwarnanya hukum negeri ini tidak serta merta menjadikan hukum di Indonesia menjadi kaya akan sumber dan berkeadilan. Penegakan hukum berbagai macam kejahatan tercoreng dengan malunya karena telah diterima kasasi dan kalah dalam prapradilan.

Pada tanggal 26 Februari 2017 yang lalu, Koran nasional memberitakan bahwa penegakan hukum kejahatan narkotika kembali tercoreng dengan diterimanya kasasi seorang Bandar kelas wahid bernama Abdullah bin Dullah oleh Mahkamah Agung. Keputusan hukuman mati telah berubah menjadi putusan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan pemerintah menggaungkan perang terhadap narkotika. Kejahatan yang satu ini merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam generasi bangsa. Mengingat berapa rumah tangga yang hancur karena ini, berapa anak-anak menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual lantaran mengkonsumsi jenis narkotika dan belum lagi generasi yang hancur akibat semua ini. Jika Negara maju saja bisa hancur karena kebobrokan generasi mudanya, lantas bagaimana dengan Negara kita yang merangkak maju?

Prinsip persamaan di mata hukum yang menjadi amanat dari UUD 1945 dengan tujuan melindungi setiap warganya, pada Pasal 27 UUD 1945, yang secara jelas menetapkan bahwa semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum tanpa ada pengecualian, ternyata dalam praktiknya sering muncul ketidakadilan. Masyarakat miskin terseok-seok dalam mencari keadilan dan kebenaran yang seharusnya didapatnya.

Selain kasus kejahatan narkotika, kasus nenek renta bernama Asyani asal Dusun Secangan kab. Situbondo yang memindahkan kayu jati dari rumahnya ke rumah Cipto (tukang kayu) untuk dijadikan peralatan kursi. Akan tetapi, pihak Perhutani menganggap ketujuh batang kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil "illegal logging" dan segera diproses secara hukum. Sedangkan kayu-kayu tersebut merupakan hasil tebangan mendiang suami Asyani yang dilakukan lima tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani. Perhutani memerkarakan nenek itu di PN Situbondo menggunakan Pasal 12 d juncto Pasal 83 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberatasan dan Pencegahan Perusakan Hutan. Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Perum Perhutani hanya melaporkan tindakan pencurian aset milik negara tanpa menyebutkan siapa pelakunya..
Asyani langsung ditahan dan diancam hukuman lima tahun penjara.

Hal ini bertolak belakang dengan kasus si pemilik rekening gendut itu sempat lari dari lapas, bahkan mendapatkan surat bebas. Pada kasus Labora Sitorus (LS) anggota Polres Raja Ampat pemilik rekening gendut senilai Rp 1,5 triliun yang antara lain didapatnya dari praktek illegal logging Pengadilan Tinggi Papua menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Merasa tak puas, LS dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kasasinya ditolak, justru dia mendapatkan tambahan hukuman menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Labora terbukti melanggar Pasal 3 Ayat (1) UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Berkat kekuatan uangnya, LS sempat tidak berada di lapas tanpa alasan yang jelas. bahkan mendapatkan surat bebas yang dikeluarkan pihak lapas tanpa ada dasar hukumnya. Kepala Kejaksaan Negeri Sorong Darmah Muin pertengahan Januari 2015 kemudian mengeluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Labora.

Vonis ini tidak adil. Seorang Bandar besar narkotika yang menyebabkan kehancuran generasi bangsa dan terbukti kepemilikan jenisa sabu-sabu seberat 78,1 kg hanya di hukum 20. Lain lagi dengan kasus Labora Situros yang yang memiliki rekening gendut Rp. 1,5 Triliyun yang didapatkan dari hasil pembalakan hutan, penimbunan BBM dan hasil lainnya hanya divonis 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 Milyar dengan subside kurungan 1 tahun penjara.  Sedangkan nenek Asyani yang dikatakan mencuri kayu jati sebanyak 7 batang kayu jati mendapatkan ancaman 5 tahun penjara. Belum lagi kasus lainnya sama-sama tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka miliki. Sehingga ini bukan vonis yang adil bukan???

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah berdasarkan contoh kasus diatas apakah hukum sudah ditegakkan? Jawabannya : sudah, tetapi apakah adil? Benarkah di Indonesia setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Karena buktinya sudah menunjukkan bahwa saat ini hukum di Indonesia dapat dibeli. Banyak kasus-kasus di Indonesia yang sudah terbukti bahwa hukum memang bisa di beli.

Tidak mungkin seorang Bandar narkotika kelas wahid yang menyebabkan kehancuran generasi bangsa, jutaan rumah tangga hancur, anak-anak kehilangan masa depan terbebas dari hukuman mati. Begitu juga sepemilik rekening gendut hanya divonis 15 tahun penjara. Sedangkan negara mengalami kerugian hingga Rp. 1,5 Triliyun  rupiah. Sedangkan seorang nenek renta yang dikatakan mencuri dilahan sendiri di hukum setimpal dengan seorang koruptor. Seharusnya orang yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp. 1,5 Triliyun di hukum jauh lebih berat.

  • Perbedaan Hukuman.

Puluhan tahun negeri ini berdiri, puluhan tahun pula lamanya penegakan hukum yang bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.  Dimana Sila keadilan ini hingga sekarang tidak kunjung jua dapat dirasakan sebagian besar rakyat negeri ini.

Negara Indonesia adalah Negara Hukum Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, namun hukum yang pada hakikatnya menciptakan rasa keadilan belum juga dapat terealisasikan secara efektif. Hal tersebut, dapat terlihat dari sistem penegakkan hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah.

Prof. Achmad Ali mengatakan bahwa sepanjang sapu kotor belum di bersihkan maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka. Dimana yang dimaksud beliau adalah penegak hukum atau petinggi hukum yang telah terlibat dalam praktik-praktik kotor dalam menegakkan hukum.

Sejatinya keadilan akan ada jika penerapannya sama-sama tajam. Bahkan jika perlu penegakana keatas harus lebih tajam dan kuat karena mereka adalah percontohan bagi masyarakatnya. Perbedaan hukuman antara mereka dan masyarakat sangat pantas diterapkan agar mereka menyadari dengan apa yang mereka emban saat ini. Seperti hukuman kasus korupsi dengan kasus pencurian yang saat ini lebih sering tajaman pencurian. Sedangkan kita tahu, bahwa korupsi itu pada dasarnya mencuri uang rakyat juga. Mengapa lebih ringan? Padahal lebih banyak dari mencuri?.

Krisis moral dan lemahnya aturan serta kurangnya sanksi yang tegas turut membuka ruang bagi siapa saja yang ingin melakukan kecurangan yang menimbulkan ketidakadilan. Tidak hanya kasus narkotika dan pidana korupsi yang merupakan pelanggaran hukum yang mengakibatkan kesengsaraan pada rakyat dan menginjak-injak aturan serta norma hukum yang berlaku. Tetapi juga pengadilan yang merupakan tempat terakhir bagi para pencari keadilan. Termasuk di dalamnya masyarakat yang ingin menyelesaikan perkaranya secara litigasi telah dijadikan barang dagangan yang diperjualbelikan di dalam peradilan kita. Antara penegak hukum dengan para kliennya sesuai dengan kepentingan kliennya. Hal ini merupakan lagu lama di dunia peradilan kita. Dan masih enak didendangkan atas nama kerakyatan.

Berbicara tentang sistem hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah, hal ini tidak lepas dari mafia. Dimana dalam praktik mafia tersebut terindikasi adanya pelanggaran terhadap supremasi hukum atau yang biasa kita dengung-dengungkan sebagai panglima hukum, meskipun dalam praktiknya sesuatu yang benar menjadi salah sebaliknya sesuatu yang salah menjadi benar. Mafia peradilan di Negara kita ini sebenarnya sangat misterius dalam artian antara ada dan tiada. Hal tersebut terjadi karena begitu rapi dan tersusun.

Achmad Ali mengatakan bahwa musuh paling berbahaya bangsa ini adalah KKN, Narkoba, Pelanggaran HAM dan konspirasi sosok-sosok penegak hukum hitam. Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan keadilan dalam hukum di Indonesia sehingga dapat dirasakan keadilan dan persamaan hak atas kedudukan bermasyarkat dan bernegara diantaranya sebagai berikut :

  • Memberikan pemaham agama yang kuat terhadap penegak hukum.

Agama merupakan termpat terkuat dalam bersandar. Aturan-aturan yang dijelaskan sangatlah universal dan nyata. Tanpa memandang status sosial.

  • Menyelesaikan masalah dengan nurani bukan nafsu.

Saat memandang permasalahan dengan nurani. Membayangkan kita atau keluarga kita yang mengalami hal seperti mereka. Maka dalam vonis hukuman akan semakin kuat. Sehingga hukum tidak mudah diperjualbelikan dengan murahnya.

  • Mengubah Sistem Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
  • Menyesuaikan Produk Hukum dengan masyarakat Indonesia.
  • Meningkatka integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum guna tercapainya keadilan yang menyeluruh.
  • Mempertegas Hukuman sesuai dengan kesalahan dan keadaan.
  • Konsisten dalam penegakan hukum dan peraturan yang sah serta yang sudah tertulis jelas dalam undang-undang.
  • Meningkatkan sarana dan prasarana dalam mempermudah penegakkan hukum.

Selain itu, beberapa alternatif solusi agar penegakan hukum di Indonesia berjalan sebagaimana mestinya diantaranya :

  1. Didalam rangka penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan agar lebih memperhatikan rasa keadilan pada masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong adanya kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya. Hukum harus memberikan keadilan bagi rakyat.
  2. Pemerintah harus berani memulai dan memberi contoh dalam proses penegakan hukum dengan tegas, adil tanpa pandang bulu.
  3. Penegak hukum seharusnya berjalan tidak semata melihat fakta, tapi menimbang serta melihat latar belakang peristiwa, alasan terjadinya kejadian, unsur kemanusiaan dan juga menimbang rasa keadilan dalam memberikan keputusan.
  4. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi.
  5. Komisi Yudisial sebagai komisi yang dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim seharusnya memberi peringatan dan sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan, juga yang melanggar kode etik.
  6. Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya.
  7. Mencukupi kebutuhan personal, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan penegakan hukum.
  8. Meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Sehingga tidak ada hakim yang terlibat kasus suap.
  9. Memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun informal secara berkesinambungan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum di Indonesia sehingga masyarakat sadar hukum dan menaati peraturan yang berlaku.
  10. Menyediakan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum. Melaksanakan asas proses yang tepat, cepat dan biaya ringan di semua tingkat peradilan.
  11. Pemberian sanksi yang tegas kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
  12. Harus ada reformasi institusional didalam tubuh lembaga penegak hukum.
  13. Memasukan ilmu hukum ke dalam kurikulum pelajaran sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di rasa perlu agar generasi muda bisa memahami ilmu hukum sejak dini

Jika poin-poin diatas dapat diterapkan di Indonesia, diharapkan penegakan hukum yang akan datang akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan.

  • Hukum yang berorientasi pada ke Bhineka Tunggal Ika.

Kebhinekaan merupakan suatu keniscayaan pada realitas bangsa Indonesia yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang adil dan sejahtera, kebhinekaan harus dimaknai sebagai "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Sedangkan untuk mewujudkan makna tersebut diperlukan sikap nasionalisme yang sekarang semakin luntur oleh arus global.

Hukum adalah senjata paling ampuh dalam mengendalikan tindakan manusia. Tidak seperti agama yang dibuat oleh Tuhan, hukum adalah buatan manusia dan dapat diubah sesuai dengan zaman dan budaya pada saat itu. Dari kacamata hukum, bangsa Indonesia masih terbilang sangatlah lemah dan tak berdaya. Dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali menjadi bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah menjadi barang mahal yang jauh dari jangkauan masyarakat. Beberapa kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat diantaranya kasus penempatan Artalyta Suryani di ruang khusus yang cukup mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu beberapa waktu lalu dan kelambanan penanganan kasus Anggodo merupakan sedikit dari wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Belum lagi kasus Prita Mulyasari yang dianggap menghina pihak Rumah Sakit Omni International, pencurian buah semangka, randu, tanaman jagung ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek Minah. Semakin menambah daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan hukum di negeri ini Sutiyoso (2010 : 218).

Dari serangkaian kasus diatas jelas terlihat perbedaan perlakuan dalam hal hukum. Hukum yang semestinya ditegakkan dan dijalankan sebagaimana mestinya membuat masyarakat semakin bertanya-tanya dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Fungsi hukum seolah-olah menjadi bergeser dan hukum dihadapkan pada berbagai arena kepentingan. Penegakan hukum seyogyanya dapat berjalan sesuai dengan tujuan hukum. Sehingga hukum akan berjalan apa adanya tanpa adanya tekanan dari pihak mana saja.

Kebhinekaan hukum itu sendiri, dapat dipandang sebagai adanya suatu perbedaan strata atau status sosial hukuman pada tatanan masyarakatnya yaitu perbeedaan dalam vonis hukuman. Bangsa Indonesia yang majemuk secara budaya, agama dan tentunya karakter memang menjadi perhatian kita semua untuk terus memperkuat jati diri bangsa. Sehingga kemajemukan itu tidak menjadi penyebab retaknya sendi kehidupan nusantara yang sudah dibina sejak zaman Majapahit. Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa kemajemukan social-hukumi juga perlu mendapat perhatian yang lebih karena kesenjangan social-hukum ini bukannya tidak mungkin menjadi pemicu terjadinya keretakan-keretakan yang berakibat parah di negeri ini.

Satu dari bagian aspek hukum yaitu pemerataan keadilan dan persamaan atas hak-hak yang memang belum dapat dicapai sepenuhnya. Namun bukan berarti kebhinekaan social-hukum ini dapat dibiarkan. Perlu ada usaha ekstra dari pemerintah dan juga masyarakat untuk mempersempit kesenjangan social-hukum demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mensukseskan program tersebut hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dengan Memberikan pemaham agama yang kuat terhadap penegak hukum, Menyelesaikan masalah dengan nurani bukan nafsu, Mengubah Sistem Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat, Menyesuaikan Produk Hukum dengan masyarakat Indonesia, Meningkatka integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum guna tercapainya keadilan yang menyeluruh, Mempertegas Hukuman sesuai dengan kesalahan dan keadaan, Konsisten dalam penegakan hukum dan peraturan yang sah serta yang sudah tertulis jelas dalam undang-undang  dan meningkatkan sarana dan prasarana dalam mempermudah penegakkan hukum. Inilah kebhinekaan Indonesia dalam bidang sosial dan hukum yang dapat dimaknai dengan pemahaman akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum Indonesia akan terganggu kalau kebhinekaan tidak dirawat dan penegakkan hukum tidak dilakukan secara adil dan transparan.

  • Penutup.

Hukum dibuat untuk mengatur tingkahlaku manusia yang pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian  dalam masyarakat. Hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan, manusia yang membuat aturan dan manusia juga yang dapat merubah tatanan undang-undang dalam hukum. Hukum yang berada di negara Indonesia ini masih menunjukkan adanya ketidakefektifan dalam berjalannya hukum. Proses penegakan hukum masih jauh dari harapan kita semua. Hukum tumpul keatas dan hukum tajam kebawah. Rasa keadilan tidak menyentuh bagi kelas bawah. Sedangkan mereka yang memiliki kelas sosial lebih tinggi maka dengan mudah mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa. Kasus-kasus yang mengemuka terdapat sebuah problematika dalam penegakan hukum. Seolah-olah hukum dapat diperjualbelikan. Hukum semestinya dapat berjalan secara efektif apabila semua sadar diri akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang berada dalam masyarakat. Gejala sosial yang muncul dari penerapan hukum adalah suatu bentuk dari ketidakpuasan dari hasil hukum yang ada. Aspek yang ditimbulkan sangatlah luas meliputi hilangnya rasa nasionalisme dan patriotisme. Dampak penegakan hukum yang tidak adil bagi masyarakat menghasilkan keretakan dan pertikaian. Sehingga dapat memecahkan kebhinekaan yang sudah ada sejak dahulu kala.

Daftar Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun