Mohon tunggu...
Rizal KurniawanHidayat
Rizal KurniawanHidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Saya memiliki hobi membaca, menulis, dan traveling. Saya juga aktif dalam berbagai aktifitas kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Interesting Story of My Journey Series 1

2 Januari 2025   06:58 Diperbarui: 2 Januari 2025   06:58 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat hari ini para pembaca!
Kompasiana adalah motifasi saya untuk mulai belajar menulis tentang apapun yang telah saya alami. Saya yakin, jika kebiasaan ini terjaga, maka akan menjadi pelajaran terbaik bagi penulis pemula seperti saya. Saya memiliki keinginan untuk menulis kisah-kisah menarik yang ingin dibagikan, selama saya melakukan perjalanan. Sehingga terdiri dari beberapa series.
Termasuk kisah yang akan saya bagikan kali ini. Kalau ada kesalahan kalimat atau tata bahasa, saran dan kritik sangat saya perlukan untuk pengembangan karya tulis saya di kesempatan berikutnya.

---

Kala itu, di penghujung tahun 2024. Saat aku sedang berada di kereta dari Kota Pasuruan kearah Kota Surabaya. Saya bertemu dengan seorang mualaf yang berasal dari daerah di salah satu provinsi yang ada di Indonesia bagian tengah.

Perjalanan kami menjadi lebih bermakna ketika ia mulai menceritakan perjalanannya menuju Islam. Awalnya, kami hanya berbincang ringan tentang cuaca dan kereta yang kami naiki, hingga akhirnya ia membuka cerita tentang pengalaman spiritualnya. Ia memutuskan menjadi mualaf di tahun 2016 setelah melalui proses pencarian panjang tentang makna hidup.

Dalam percakapan itu, ia berbagi pengalamannya mencoba menjalankan ibadah puasa untuk pertama kali. "Awalnya, saya merasa ini berat sekali," katanya sambil tersenyum. "Tantangan paling sulit adalah air liur saya yang rasanya selalu penuh. Rasanya, setiap beberapa menit, saya harus meludah. Saya takut kalau itu mengganggu saat saya berinteraksi."

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami betapa sulitnya beradaptasi dengan aturan-aturan baru yang mungkin sebelumnya tak pernah ia bayangkan. Ia bercerita bahwa setiap kali merasa resah, suaminya selalu berusaha menenangkan dan memberinya semangat. "Kata suami saya, mungkin Allah sedang mensucikan diri saya dari najis-najis yang pernah masuk melalui makanan dan minuman yang saya konsumsi dulu. Karena itu, air liur saya terasa banyak. Saya harus bersabar karena ini bagian dari proses menjadi lebih baik."

Mendengar hal itu, aku merasa kagum pada keikhlasannya. Betapa ia tak hanya berjuang melawan rasa lapar dan haus, tetapi juga melawan ketakutan-ketakutan kecil yang wajar muncul bagi seorang yang baru belajar menjalankan ibadah. Ia juga menceritakan bahwa selama berpuasa, ia lebih banyak merenung tentang segala hal yang pernah ia lakukan. Hal itu membuatnya semakin yakin bahwa keputusan untuk menjadi mualaf adalah langkah terbaik dalam hidupnya.

Aku teringat betapa kita yang lahir dalam keluarga Muslim sering kali menganggap puasa adalah hal yang biasa, bahkan terkadang lalai menjaga kesuciannya. Namun, melihat perjuangannya, aku tersadar bahwa ibadah ini adalah nikmat luar biasa yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Sebelum turun di stasiun Sidoarjo, ia berkata, "Saya tidak tahu apakah saya sudah melakukan puasa dengan benar. Tapi saya yakin, Allah melihat niat saya untuk berubah menjadi lebih baik. Itu saja yang menjadi pegangan saya.". Seraya menyalami tanganku.

Percakapan itu meninggalkan kesan mendalam bagiku. Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman seorang mualaf ini, terutama tentang bagaimana kita memandang ibadah dengan hati yang tulus. Bagiku, ia adalah gambaran nyata tentang keteguhan iman yang baru tumbuh, namun sudah begitu kuat berakar. Selain itu, pengalaman ini juga memotifasiku untuk menuangkan ke dalam bentuk diari. Ini adalah salah satu media bagiku untuk belajar menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun