Hujan baru saja usai, menyisakan tetesan air dari dedaunan yang basah. Langit masih terasa gelap, walau senja belum beranjak dan berganti malam. Sore yang sejuk, aroma tanah yang baru dibajak oleh para petani Desa Rangkat, adalah wangi khas sebuah desa. Rumput telah bersemi hijau, gemericik air kini kembali terdengar dari untain sungai di pinggir hamparan sawah yang luas.
Keindahan alam desa itulah yang sedang dinikmati oleh seorang pemuda, duduk sendiri sambil melihat burung bangau terbang diatasnya, membuat Ia teringat bayangan masa silam. Saat kanak dulu, Ia suka berlari-lari di tengah-tengahnya, bertelanjang dada, bermain lumpur, atau naik ke atas bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi. Dan jika sore telah menjelang Ia tinggal menceburkan badanya ke dalam sungai yang mengalir jernih, membersihkan badan yang kecoklatan karena baluran lumpur.
Bersama Mas Hans sahabat karibnya, dulu semua itu dia lakukan. Walau kenangan itu tidak akan mungkin pernah terulang kembali. Cinta memang membuat hubungan persahabatan dua orang karib ini menjadi pasang surut, seperti sudah di takdirkan, mereka seringkali harus bersitegang, karena menyukai wanita yang sama, dari Kembang, Jingga, Galang sampai Miss. Rochma.
Sampai pada akhirnya Ia memutuskan untuk mengakhiri semua, Ia sudah merelakan Kembang menjadi pendamping hidup Mas Hans, terlebih setelah sahabatnya itu terpilih menjadi seorang Kepala Desa. Sebuah tanggungjawab kini terpikul di pundaknya. Tak mungkin ia tanggung sendiri semua beban itu, harus ada seseorang yang bisa menjadi teman untuk berbagi.
Walau hati terasa sakit, ia harus melupakan kenangan bersama Kembang. Tapi ia kecewa ketika ia tahu kini banyak gadis-gadis Rangkat yang mengirimi Gladiol ke kantornya di balai desa. Sampai-sampai Ia harus melabrak Acik sekdes desa, mempertanyakan perihal semua itu. Ah tapi bukankah kini Ia memang pantas jadi primadona.
Lembayung senja kian menghilang, namun pemuda itu masih asik dalam lamunan, sesekali ia melemparkan batu-batu kecil ke dalam sungai. Tanpa disadari seorang gadis manis berkerudung telah berdiri disampingya.
"Sore-sore gini emang asik ngelamun di pinggir sawah ya mas"
Pemuda itu terjaga, lalu menoleh, melihat si pemilik suara lembut yang kini ada disampingnya.
"ah, hanya sedang membayangkan masa lalu saja"
"Masa lalu memang terlalu indah untuk dilupakan mas, tapi ingatlah semua itu tidak pernah akan kembali"
Ia terperangah mendengar kata-kata terakhir dari bibir mungil sang gadis.
"Kadang masa lalu menutup mata hati kita, membuat kita selalu bergulat dalam kelamnya, mengharap semua akan kembali, dan tak mampu melihat bahwa ada sesorang yang ingin menghapus kenangan itu menjadi sesuatu yang lebih indah." Gadis itu melanjutkan.
Senja semakin menipis, matahari akan segera tenggelam, dua orang itu masih asik berbincang dan bercanda, sampai akhirnya panggilan azan dari musolla menyadarkan mereka untuk segera mengakhiri semua.
*****
Dinginya malam membuat Repotter enggan untuk keluar rumah. Ia memang punya rumah singgah, disana diujung desa, tidaklah megah bak istana. Rumah itu hanya warisan dari orang tua, meski Ia anak terakhir dari tiga bersaudara, tapi Ia tidak pernah meminta agar rumah orangtua itu menjadi warisannya saja, karena Ia lebih suka berlama-lama di studio-nya.
Dia memang pemalu, beberapa gadis pernah hadir dalam hidupnya, tapi belum ada yang bertahan lama dekat dengannya. Karena Ia orang biasa saja, bersahaja, sedarhana, apa adanya, cuma punya motor butut yang sudah tua, yang kalau sedang bokek sering dipakai untuk untuk ngojek didesa tetangga.
Jingga kenapa tiba-tiba Ia memikirkan anak Pak Kades itu. Jika mau jujur, Ia mengaguminya, karena setiap tarian simponi kupu-kupu Jingga, bak alunan merdu nyanyian surga. Sungguh pesona itu ada pada diri Jingga.
Namun segera ia menepis bayangnya, biarlah kekaguman itu disimpan dalam-dalam di hati saja, berfikir untuk memiliki rasa kepada Jingga, baginya adalah sebuah dosa, Ia begitu istimewa, dan ia telah mendapatkan seseorang yang luar biasa.
Miss. Rochma dan Si Gadis Petualang dua orang sahabat dekat, keduanya mampu mengisi ruang hati yang terasa hampa, namun mereka bagaikan sebuah misteri, terlalu berharap akan sakit jika kenyataan berkata lain.
Teringat kembali, sosok gadis yang menemaninya menikmati indahnya senja dipinggir sawah, sore tadi. Gadis berkerudung yang pernah Ia lihat bersama pemuda berambut gimbal, yang kini entah pergi kemana. Mungkinkah dia yang ingin menghapus masa lalu itu menjadi lembaran indah. Ia memang telah mengenalnya sejak lama, tapi tak pernah sedekat itu. Dan sore tadi, tanpa sengaja, tangan sang gadis menyentuh tangannya, kakinya terpeleset ketika mereka akan pulang, tiba-tiba saja desiran hawa panas menyelimuti badanya.
Alunan merdu lagu delapan puluhan terdengar dari radio Rangkat FM, " Dara", lagu Harvey Malaiholo, Repotter mengikuti alunan nada itu dan mengganti kata-kata "Dara" menjadi " Ghara".
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H