Mohon tunggu...
Ahmad Saiful Rizal
Ahmad Saiful Rizal Mohon Tunggu... -

Penggila Belajar dari Kota Santri. \r\n\r\nTwitter: @RizalSemangat\r\nFB: www.fb.com/rizal.semangat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bedah Buku; Ashabul Kahfi Melek 3 Abad

30 November 2013   22:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrahmanirrahim... Siang ini adalah salah satu siang yang menurutku sangat berkesan. Pertemuanku dengan Dr. Nadir dan dr. Chia memberi tambahan pemahaman serta memperkuat pendapatku tentang apa yang selama ini aku pegang sebagai sebuah prinsip dalam berpikir. Prinsip berpikir ini memang penting diketahui oleh banyak orang. Tanpa mengetahui prinsip berpikir yang baik, maka manusia bagaikan robot yang bisa diseter seenaknya oleh siapapun. Padahal secara fitrah, manusia diberi kehendak untuk memilih. Manusia punya akal untuk berpikir dan menentukan pilihannya. Apa yang tersedia di muka bumi ntah itu kebaikan maupun keburukan ada2lah sebuah pilihan yang diambil berdasarkan presepepsi serta olah pikir yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Karena itulah sangat naif jika masih ada orang yang merasa dirinya paling benar. Paling pintar. Paling hebat. Orang yang selalu merasa ‘paling’ menunjukkan betapa dangkalnya wawasan yang dimilikinya. Hanya orang-orang berpengatahuan luaslah yang akan senantiasa bersifat terbuka atas segala perubahan serta pengetahuan yang kian hari kiat berkembang dengan cepat. Salah satu ciri oang yang berilmu adalah semakin dia mempelajari sesuatu akan semakin ‘haus’ akan ilmunya. Bukan justru semakin puas atas ilmu yang ia dapatkan. Hal inipun menjadi prinsipku ketika menghadapi sebuah perbedaan pendapat. Beda pendapat bagiku adalah suatu hal yang sangat wajar. Karena itulah aku tak terlalu ambil pusing untuk bedebat pada orang yang kolot, tidak terbuka, dan merasa dirinya paling benar. Apalagi jika orang itu tidak memiliki wawasan yang cukup namun merasa paling benar. Aku paling menghindari untuk berdebat dengan orang semacam itu. Biarlah orang itu menganggapku bodoh karena menghindari perdebatan, yang penting bagiku bukanlah berdebat kusir yang tak perlu. Daripada mengalokasikan waktu untuk berdebat, lebih baik aku memilih memperdalam ilmu melalui buku, diskusi dan guru. Bukan berdebat. Lho, apa bedanya? Ya jelas beda. Makna kata dan konteksnya berbeda. Walaupun ada kesamaan dari segi komunikasi, namun tetap saja memilik ciri khas yang berbeda. Tujuannya pun berbeda. Orang yang melakukan perdebatan selalu dipenuhi oleh orang-orang yang merasa dirinya paling benar. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan kebenaran yang dia miliki. Bagaimanapun argumen yang dilontarkan akan bersifat apalogi. Tak mau mengalah. Maunya benar dan paling benar. Itu berdebat. Karena itulah perdebatan selalu diliputi dengan amarah dan arogansi. Bahkan seringkali menjatuhkan dan melecehkan. Ketika pendapatnya dipatahkan, dia akan malu mengakui bahwa dirinya salah. Itulah ciri khas perdebatan. Beda sekali dengan diskusi. Jika perdebatan selalu dijejali oleh orang orang-orang yang merasa dirinya paling benar, diskusi tidaklah demikian. Pembicaraan yang ada pada diskusi lebih mengarah pada pencarian kebenaran. Sehingga argumen-argumen yang terlontar besrifat presentatif dan terbuka. Saling mengoreksi antar satu dengan yang lain. Komunikasi berjalan dengan sehat dan tidak ada yang merasa paling benar. Semua yang hadir dalam diskusi mengutamakan tabayyun dalam berpendapat. Tidak saling menjatuhkan apalagi melecehkan. Jika memang terjadi perbedaan yang tidak terselesaikan ya sudah. Setiap pendapat benar kembali kepada pribadi masing-masing tanpa ada paksaan. *** STOP! Jika merasa kepanjangan, bisa langsung diloncati pada bagian ketiga yang terpisah dengan simbol (***) agar dapat endingnya. Jika ingin lebih mendramatisir, dibaca lengkap juga boleh... hehe. Stay Enjoy! ^_^ *** Siang ini begitu berharaga bagiku. Tak kusangka Allah menggerakkan langkahku untuk mengikuti bedah buku berjudul “Ashabul Kahfi Melek 3 Abad” karya Dr.H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. & dr. Nurussyahriah Hammado, M.NouroSci. Sebelumnya aku tak begitu tertarik menyimak maupun mengikuti acara itu. Prioritas agendaku lebih mendesak daripada acara bedah buku yang langsung diisi oleh kedua penulisnya. Namun karena ada desakan hati setelah diajak oleh Mr. Islah untuk memperkanalkan metode Hanifida kepada penulis, akhirnya aku menyempatkan diri untuk ikut hadir di Aula Tebuireng yang digunakan sebagai tempat diskusi. Aku datang sekitar pukul 11.00 WIB bersama Izzal dan Izul. Sedangkan acara dijadwalkan sejak pukul 09.00 WIB. Walaupun terlambat, aku tak segan-segan memasuki aula untuk ikut menyimak penuturan materi yang disampaikan oleh kedua penulis. Waktu aku masuk, yang berbicara adalah Dr. Nadir. Kemudian dilanjut dengan dr. Chia. Karena acara berjalan datar, gelombang otakku terbawa pada level alpha. Relaks. Namun saking relaksnya, tak terasa gelombang otakku semakin turun pada level delta. Aku tertidur. Walaupun sepertinya sejenak, ternyata aku sempat ketinggalan materi yang disampaikan oleh KH. A. Musta’in Syafi’i. Biarpun singkat, aku langsung terhibur karena joke-joke yang dikeluarkan oleh beliau begitu segar dan cerdas. Dalam salah satu diskusinya, beliau menyinggung tentang makna jam’ak dari “ummi” yang berarti “ibu”. “Mengapa jamak ‘umi’ memakai “ha’”. Kenapa tidak “ummatun” tetapi justru menjadi “ummahaatun”? coba cari di buku nahwu manapun tak ada keterangan mengapa jamak “ummi” memakai “ha’”. Jluntrunge teko endi? (dari mana asalnya?). itulah hebatnya Ibu. Dari segi kata saja Allah mengkhusukan. Memuliakan. Apalagi yang lebih dari sekadar kata. Dengan adanya “ha’” pada jamak “ummi”, kalimatnya akan lebih keren. Bayangkan saja kalo ndak ada “ha’” kalimatnya berbunyi ‘ummatun’ (beliau sambil mengecilkan suara). Beda sekali jika diberi “ha’” jadinya lebih elegan “ummahaatun” (dengan nada yang besar). Kontan saja, keterangan yang beliau berikan mengundang gelagak tawa udiens. Di ending penyampaian, beliau mengatakan “diskusi yang bagus adalah diskusi yang tidak pernah selesai”. Tak berselang lama, acara buyar. Sebagian peserta menyempatkan diri untuk foto bersama dengan pembicara. Tak terkecuali aku. Ni fotonya... ^_^

Sampai disini aku tak mendapat materi yang begitu banyak dari kehadiranku mengikuti bedah buku di Aula Tebuireng. Sesuai janji, Mr. Islah ingin mengajakku memperkenalkan metode Hanifida kepada beliau berdua. Hebatnya Mr. Islah, dia sampai rela menyisihkan sebagian hartanya untuk membelikan buku metode menghafal cepat al-Asma al-Husna dan Bedah Otak karya Abi Hanif dan Umi Ida. Mr. Islah bercerita kalo kedua penulis terlihat tertarik dengan bukunya. Karena itulah untuk mengenal lebih dalam, kami meminta waktu untuk berkenalan pasca acara. Namun sayang, panita mengembargo niat baik baik. Kami belum diperkenankan untuk ngobrol dengan beliau berdua karena mereka belum istirahat. Habis dari bandara Juanda, langsung mengisi acara. Kami memaklumi akan hal ini. Namun kami bersyukur karena panitia menjanjikan akan dibuka diskusi lagi setelah beliau istirahat. *** Rejeki tak disangka-sangka datang kepada kami. Selepas shalat, secara kebetulan kedua pembicara sedang shalat tak jauh dari tempat kami. Hati kami langsung berbunga-bunga karena ingin segera ngobrol, berkenalan, serta diskusi lebih lanjut kepada beliau berdua. Sungguh. Ini kesempatan yang super langka. Mengingat beliau berdua sudah cukup lama berkecimbung di dunia intrenasional. Kapan lagi mendapat kesempatan yang langka ini. Dengan penuh kesabaran kami menunggu beliau hingga tuntas menyelesaikan shalat jama’nya. Sebelumnya kami sempat hawatir jika beliu berdua tidak memberi waktu kepada kami untuk berkenalan. Biasa, orang penting git lho...! akhirnya setelah diskusi kecil dengan Mr. Islah, kami tetap memberanikan diri untuk berkenalan. Mr. Islah membuka perkenalan. Karena memang, Mr. Islahlah yang pertama kali mengenalkan buku-buku Abi Umi kepada beliau. Karena waktu begitu singkat, aku pun hanya memperkanlakn nama saja. Setelah itu basa-basi bentar sebagai ‘pelumas’ obrolan. Seperti biasa, dalam setiap perkenalan metode Hanifida kami mengenalkannya lewat menghafal cepat angka acak. Berawal dari angka itulah orang akan melihat betapa cepatnya metode Hanifida untuk menghafal. Sebagaima yang kami lakukan dalam setiap event presentasi, kami meminta beliau berdua menyebutkan angka acak. Namun aneh. Beliau berdua tak seperti kebanyakan orang. Jika biasanya orang langsung bersedia menyebutkan angka, tak demikian dengan beliau. Beliau malah balik bertanya, “untuk apa?” Kemudian kami jelaskan bahwa ini akan dihafal dengan tempo yang seingkat-singkatnya. Setelah itu kami meminta beliau untuk menyebutkan angka. Beliau berdua tetap tidak bersedia. Malahan kami sendiri yang diminta untuk mengisinya. Akhirnya kami sampaikan, “Nanti kami dikira merekayasa angka-angka ini”. “Oh, engak. Kami percaya. Silahkan diisi saja”. Aku pun mengisi 50 kotak itu dengan angka-angka acak sekenanya. Setelah selesai, barulah aku memutar timer 1 menit untuk menyelesaikan 50 angka acak yang akan segera dihafal oleh Izul dan Izzal. Izzal selesai lebih awal sebelum timer berhenti. Izul selesai 1 menit tepat. Mereka berdua pun mempresentarikan hafalan 50 angka dengan tepat tanpa alpha sedikitpun. Melihat hal itu, ekspresi kedua penulis itu flat (datar). Tak ada raut wajah heran maupun takjub atas apa yang mereka lihat. Padahal biasanya, orang yang melihat aksi sebagaimana Izul dan Izzal lakukan langsung menunjukkan wajah keheranan. Namun kali ini tidak demikian. Wajah beliau berdua flat. Akhirnya aku tanya, apakah sebelumnya pernah melihat metode semacam ini? Beliau berdua menjawab “belum.” Kemudian aku jelaskan lagi bahwa metode menghafal angka semacam ini tak cukup dibaca dari depan kebelakang. Dari belakang kedepan, dari atas kebawah, bawah keatas, diagonal, bahkan acak pun mereka mampu. Kemudian aku presentasikan model membaca hafalan yang aku jelaskan tadi. Beliau berduapun masih terlihat biasa saja. Seolah tak ada yang heran dengan kemampaun otak semacam itu. Namun hal ini aku anggap wajar karena beliau berdua memang penulis buku dalam bidang neurosains. Artinya melihat kemampuan otak semacam itu adalah hal yang biasa dan bisa dilakukan oleh semua otak. Kemudian aku mencoba memberi pertanyaan yang sifatnya ‘menantang’. “Jika Dr. Chia diberi tantangan untuk menghafal seluruh angka ini, Dr. Chia mampu berapa menit?” Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mengetes beliau. Tidak. Hanya ingin mengetahui apakah beliau memliki metode menghafal cepat yang lain. Jika ada, kan lumayan dapat tambahan wawasan. Namun ternyata, beliau menjawab “mungkin agak lama untuk menghafalnya.” Kemudian aku mempresentasikan hafalan al-Asma al-Husna dengan metode Hanifida yang bisa diacak maju, mundur berserta artinya. Tak ada rasa takjub pada beliau berdua. Hal itu dianggap sebagai hal biasa saja. Kemudian beliau berdua menjelaskan bahwa metode ini sangat bagus untuk menghafal. Namun satu hal yang perlu diperhatikan, menghafal saja tidak cukup. Jika kecenderungan kita hanya menghafal tanpa ada peningkatan berpikir kritis dan juga memahami, maka kita akan menjadi “manusia robot” yang hanya bisa bertindak ketika diperintah. Di Australia tak ada budaya seperti itu. Model pendidikan yang diterapkan oleh orang-orang Australia (Ausie) lebih menitikberatkan bagaimana mengembangkan kerangka berpikir melalui pemahaman dan berpikir kritis. Bukan menghafal. Itulah yang menyebabkan beliau berdua tidak begitu interest dengan orang yang memiliki kemampuan menghafal yang menakjubkan. Karena bagi mereka, menghafal bukanlah satu-satunya fungsi otak. Masih ada fungsi lain dari otak yang perlu diperhatikan. “Bagian otak kan ada dua dengan fungsi berbeda. Jika kita hanya fokus mengembangkan satu bagian saja, maka otak kita tidak akan berkembang. Bahkan ketika menghadapi masalah, kita cenderung akan mengasah salah satu bagian otak. Bukan seluruhnya” begitulah sebagian pemaparan yang disampaikan oleh Dr. Chia. Beliau juga menambahkan bahwa dalam proses pendidikan, hendaknya anak diajak untuk berpikir secara holistik. Tidak melulu mengandalkan hafalan. Namun juga perlu dikembangkan melalui riset dan penelitian. Itulah budaya pendidikan di Australia. Begitu kontras dengan pendidikan Indonesia yang seringkali lebih mengedepankan hafalan dibandingkan pemahaman dan pengembangan. “Jika anak hanya diasah kemampuan dari segi menghafal saja, yang terjadi adalah anak itu tidak akan bisa berpikir kritis. Bisanya hanya mengcopy-paste informasi yang ia terima. Ini tidak akan membuat otak semakin berkembang. Seperti halnya hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa barang siapa yang hafal al-Asma al-Husna maka dia akan masuk surga. Lha, kalo pemahaannya cukup sampe disini, orang hafal al-Asma al-Husna semenit udah bisa masuk surga dong? Itulah mengapa dibutuhkan pemikiran lebih dalam tentang makna-makna dari teks-teks yang kita hafal” begitulah keterengan tambahan yang disampaikan oleh Dr. Nadir. Aku sangat sependapat apa yang beliau sampaikan. Kemudian aku pun ikut menambahi keterangan tafsir dari lafadz hadits yang berbunyi “ahsho”. Yang mana makna tafsir dari “ahsho” yang berarti “menjaga” tidak cukup hanya menghafal. Namun juga mampu merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi dari sifat-sifat ilahiyah yang terangkum dalam al-Asma al-Husna itulah yang menjadi penyebab manusia bisa masuk surga. “Jadi bukan perkara hafal al-Asma al-Husnanya, tapi bagaimana kita bisa menyerap sifat-sifat ilahiyah pada diri kita” Dr. Nadir ikut menambahi. Dosen senior di Fakultas Hukum University of Wllongong Australia itu turut antusias berdiskusi dengan kami. dr. Chia menjelaskan bahwa setiap orang itu memiliki cara belajarnya masing-masing. Bukan berarti orang yang mampu menghafal angka lebih pintar daripada yang tidak bisa menghafal angka. Bukan berarti orang yang hafal Alfiyah lebih pintar dibadingkan dengan yang tidak hafal Alfiyah. Buan berarti pula orang pandai matematika adalah orang yang pandai segalanya. Tidak. Setiap orang memiliki potensi masing-masing. Karena itu, jangan pernah merasa paling hebat. Dan belum tentu metode yang diterapkan pada satu orang, juga akan efektif diterapakn untuk orang lain. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam belajar. Ada kalanya orang mudah belajar ketika melihat. Adapula yang mudah mempelajari ketika mendengar. Ada juga yang belajarnya dengan gerakan. “Contoh menghafal angka tadi. Kamu berdua (Izzul dan Izzal-pen) memiliki kecepatan berbeda dalam menghafalnya. Iya kan? Padahal metode yang digunakan sama. Kemudian ada lagi. Ketika yang satunya menghafal lebih lambat, maka akan terjadi beban psikologis. Karena mereka mempresentasikan di depan orang lain. Yang terjadi adalah, ketika yang satunya menghafal lebih lambat, maka dia akan beranggapan bahwa dirinya tidak cerdas. Iya ndak? (Izzul tersenyum mengangguk). Nah itu. Karena itu jangan terpengaruh oleh orang lain. Setiap orang memiliki potensi masing-masing. Mungkin dia (sambil menunjuk izul) kalah dalam menghafal angka. Namun disisi lain, bisa jadi dia lebih unggul dibanding satunya (sambil menunjuk izzal).” Begitulah keterangan dari dr. Chia, dosen di Universitas Negeri Makassar. Kontan saja, hal itu memberi pencerahan sekaligus memberi motivasi bagi kami untuk tidak pesimis terhadap diri sendiri. Karena memang, sumber kegagalan adalah ketika seseorang tidak lagi mempercayai kemampunnya sendiri. “tapi biarpun berpikir kritis itu penting, bukan berarti menghafal itu tidak penting. Boleh hafal alfiyah. Namun tak cukup sekadar menghafalnya. Perlu ditambah dengan pemahaman” Dr. Nadir menambahkan. “Kami tetap memberi apresiasi atas prestasi hafalan kalian. Ini sangat bagus. Namun tak cukup hanya ini yang kalian bisa.” tambah dr. Chia. Diskusi berjalan dengan nuansa segar dan mencerahkan. Biarpun ada beberapa bagian yang menurutku tidak sependapat, aku memilih diam. Bukan kapasitasku untuk mendebat beliau. Tak penting pula untuk berdebat. Lagian orang penting semacam itu jarang-jarang meluangkan waktu semacam ini. Karena itulah aku selalu berusaha mendengar sebanyak-banyaknya wawasan yang beliau miliki. Kami sangat bersyukur atas waktu yang beliau berdua luangka untuk kami. Karena setelah kami tanya, beliau tidak akan membuka diskusi kedua kalinya. Setelah makan siang, beliau langsung berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan aktivitasnya. Hemm.... seumpama kami mengikuti janji panitia, pastilah tidak terlaksana. Peluang semacam ini begitu langka! Akhirnya hanya kamilah yang mendapat kesempatan diskusi secara intens dengan beliau berdua. Alhamdulillah! Sebelum beranjak, aku izin tanya kepada dr. Chia tentang apa yang selama ini mengganjal di pertuku. Eh, maksudnya di otakku. Hehe.  Yaitu korelasi atau pengaruh maksiat terhadap hafalan. Bagian otak mana yang merespon maksiat, kemudian bisa mengangu atau mempengaruhi hafalan? Hal ini berdasarkan pengaduan Imam Syafi’i tentang sulitnya hafalan yang disebabkan karena maksiat. Beginialah keterangan yang disampaikan oleh dr. Chia. “Dalam otak terdapat bagian neokorteks dan limbik. Neokorteks ini adalah tempat logika dan analisa. Sedangkan belajar, itu berkaitan dengan emosi yang terletak pada bagian limbik. Pada bagian limbik ini, terdapat dua sisi yang saling bergesekan (beliau tidak menyebut nama kedua bagian itu). Jika orang itu melakukan maksiat, maka bagian limbik ini akan terganggu konsentrasinya. Itulah yang membuat orang susah atau bahkan sulit belajar dan menghafal.” “Jadi, permasalahannya hanya pada terganggunya konsentrasi?” “Iya. Makanya sebelum belajar dianjurkan beroda agar lebih fokus dalam belajar” tutup beliau. Beliau berlalu dari kami. Kami pun merasa puas dengan pertemuan singkat itu (walaupun sebenarnya masih kurang). Kami berempat saling bertukar perasaan atas apa yang di dapat dalam waktu 5 menit itu. Pertemuan singkat, namun berefek jangka panjang. Itulah nikmatnya jika bertemu dengan orang-orang berilmu. Singkat, memikat, dan bermakna. Pengalaman ini benar-benar super keren![sekian] NB: Tulisan ini baru permulaan. Inysa Allah akan ada part II yang akan membahas lebih dalam tentang pemaparan yang beliau berdua sampaikan. Diskusi akan sangat lebih menarik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun