Mungkin bagi hijabers yang hidup hanya di sekitar mereka yang muslim, tidak keluar dari lingkaran orang-orang sejenis, tidak mengalami ini.
Citra hijabers jauh lebih membaik karena hijabers Malaysia. Disana mereka dihormati, punya banyak pilihan busana, lebih modis. Ini karena produsen disana tanggap dengan kebutuhan hijabers. Hal yang kemudian ditiru oleh produsen Indonesia jauh bertahun-tahun setelah Malaysia.
Tapi dalam lingkup kecil, didaerah-daerah dimana muslim menjadi minoritas, perasaan teror ini masih tetap terjadi. Dan muslim diam-diam didiskriminasi secara halus. Terutama mereka yang senang kemana-mana sendiri seperti saya.
Saya merasakan ini setelah saya bekerja lalu pindah ke kota ini, dimana muslim merupakan minoritas. Terutama minoritas secara finansial. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, karena tentu saja mereka takut terhadap citra teroris yang sudah melekat pada hijabers. Atau setidaknya jijik pada citra miskin yang juga melekat pada hijabers, seolah saya akan mengemis atau merampok mereka. Segregasi yang terjadi terlalu besar dan kuat.
Saya pernah ditinggal begitu saja oleh pemilik toko saat akan belanja dibeberapa toko yang dimiliki oleh suku tertentu, atau dilempar kepada pegawainya yang berhijab. Dia sendiri hanya duduk dimejanya tidak mengacuhkan saya.
Bahkan pernah ada kejadian disebuah toko kain, karena ditoko tersebut semuanya non muslim, maka dipanggilah pembantu berhijab yang sedang mengerjakan hal lain untuk melayani saya. Pembantu itu datang dengan berkeringat dan terengah-engah, mungkin baru membersihkan toilet, Â terbengong-bengong melayani saya, karena dia tidak hafal dengan harga kain manapun. Hati saya sedih sekali.
Pernah ada perusahaan kontraktor yang khusus menyewa orang berhijab untuk berurusan dengan saya, karena menyangka saya hanya akan mempermudah urusan kalau dihadapkan dengan sesama hijabers. Citra fanatik terlalu melekat pada hijabers, sampai mereka tidak bisa menerima, arsitek bisa punya standar yang tinggi untuk meloloskan gambar kerja dan rencana anggaran.
Lalu bagaimana mungkin, jauh setelah Gus Dur berusaha memperbaiki kembali hubungan antar suku di Indonesia, keadaannya masih diam-diam masih mirip seperti di zaman ORBA? Kenapa setelah begitu lama, dan begitu pesatnya peningkatan jumlah hijabers, bahkan yang berprestasi, perlakuan mereka masih begitu?
Jawabannya : Media Sosial.
Hal-hal yang viral di media sosial hampir selalu berkaitan dengan keburukan muslim, atau setidaknya kekonyolan mereka. Bahwa muslim itu intoleran (sebagai mana yang saya alami), suka memaksa orang lain menutup aurat, merendahkan perempuan lain yang tidak berhijab, suka bertengkar, victim blaming pada pelecehan seksual, bahkan ada hijabers yang bangga menjadi pelakor.
Belum lagi viral mengenai mereka yang memilih simbol-simbol tertentu yang dituduh berafiliasi pada teroris, bahkan anak kecil pun bisa kena hujat. Tega sekali.